Cinta Lingkungan


Cinta adalah suatu kata yang menyimpan berjuta makna. Saat cinta digumamkan, tentu yang dipertanyakan adalah pengorbanan sehingga timbullah sebuah keyakinan. Sampai di manakah pengorbanan teman-teman dalam menjaga lingkungan? Yuks, tengok negara Singapura! Mayoritas penduduknya Islam? Bukan! Namun mampu meng-aplicate-kan nilai-nilai kebersihan yang disabdakan oleh Rasulullah saw. Tengok lagi ke negara Indonesia! Mayoritas penduduknya Islam? That’s Right! Meng-aplicate-kan kekuatan cintanya terhadap lingkungan? Emmmmmmm…
Bumi ini adalah tempat tinggal manusia, atau dapat dianalogikan dengan rumah. Sudah barang tentu agar tercipta sebuah kenyamanan di dalam rumah maka rumah tersebut dijaga dan dipelihara. Dijaga dari tangan-tangan perusak, dipelihara hingga tetap asri dan memberikan kenyamanan bagi penghuninya.
Tangan-tangan perusak di sini telah Allah jelaskan di dalam firman-Nya, yang artinya: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Q.S. Ar-ruum: 41).
Peduli terhadap lingkungan pada esensinya adalah peduli terhadap diri sendiri. Dapat kita jadikan bahan perbandingan antara lingkungan yang kotor dan lingkungan yang bersih. Efek yang ditemukan yakni antara sehat dengan tidak sehat. Cinta terhadap diri sendiri? Tidak usah menunggu untuk berpola hidup sehat.
Membersihkan lingkungan sebagai simbolisasi hidup sehat dan akhlak yang sehat. Cerminan manusia yang hidup dengan fitrah cinta akan terlihat aura keshalihan sosialnya di masyarakat. Senantiasa ia akan hati-hati membuang sampah agar tidak menzhalimi diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
Tanamkan cinta, tanamkan kepedulian. Hidup dengan cinta yang hakiki sebagai bukti hati tidak mati dalam menjaga bumi agar tetap berseri. Keimanan manusia pun dapat diindikatorkan sejauh mana kepeduliannya dalam menjaga lingkungan. Ingat sama pemulung sampah? Sedikit banyaknya ia telah membantu pemerintah untuk tidak menyediakan tempat sampah non-organik. Bayangkan jika tidak ada pemulung, anggaran dari pemerintah untuk sampah non-organik tentunya tidak sedikit.

Cinta Lingkungan

Belajar dari Planet: Pembagian Rizki


Di dalam Asmaul-Husna ada “Ar-Razaq” yakni Maha Pemberi Rizki. Bahwa Allah SWT memberikan limpahan rizki untuk seluruh umat manusia. Berbicara tentang rizki, ada 4 hal yang tercakup, di antaranya adalah sebagai berikut.
1.        Rizki yang dipastikan (untuk seluruh penduduk bumi).
Artinya: "Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi, melainkan Allah lah yang akan memberi rezekinya." (Q.S. Huud: 6).
2.        Rizki yang digantungkan.
Artinya: “...sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri….” (Q.S. Ar-Ra’du: 11).
Rizki yang digantungkan di sini adalah tergantung kita mau menjemput rizki kita atau tidak. Jika mau maka kita harus merubah keadaan kita untuk menjadi pribadi yang sukses dari segi moril dan materil. Sukses itu bukan turunan. Ingat presiden Indonesia ke-2? Siapakah orang tuanya? Apa latar belakangnya? Silahkan jawab masing-masing.
3.        Rizki yang dijanjikan.
Artinya: “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih’.” (Q.S. Ibrahim: 7).
Allah menjanjikan bagi hamba-hamba-Nya yang bersyukur, senantiasa akan ditambah nikmatnya. Namun jika sebaliknya maka Allah pun akan melimpahkan azab kepada hamba tersebut.
4.        Rizki yang tidak disangka-sangka.
Artinya: “…barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya….” (Q.S. Ath-Thalaq: 2-3).
           
Tidak akan tertukar rizki seseorang dengan orang lain, masing-masing ada bagiannya. Seperti halnya luar angkasa yang memiliki lintasannya masing-masing. Ini patut kita jadikan ibrah, planet-planet yang berputar tidak saling senggol, tidak saling mendahului. Mereka telah ditetapkan tempatnya masing-masing, tidak berlomba untuk berputar lebih awal atau lebih akhir dalam mengitari matahari. Lantas bagaimana dengan manusia? Manusia itu terkadang serakah. Mengambil jalur orang lain. Rizki yang haram pun dihalalkan demi sesuap nasi. Harta telah melimpah pun masih tetap ingin ditambah. Padahal harta tidak akan dibawa untuk jalan-jalan dengan Malak Munkar-Nakir di alam barzah.

Iffah Nurkhalifah: Filsafat Dakwah "Ontologi, Epistimologi, Aksiologi"


Ontologi Dakwah
Yakni berbicara tentang “ke-apa-an” dakwah. Sehingga timbul pertanyaan apakah dakwah itu? Maka pertanyaan ini mengacu pada definisi atau terminologi. Di bawah ini beberapa definisi tentang dakwah.
Dakwah Islam merupakan aktualisasi imani yang dimanifestasikan dalam suatu sistem kegiatan manusia beriman, dalam bidang kemasyarakatan yang dilaksanakan secara teratur, untuk mempengaruhi cara merasa, berpikir, bersikap, dan bertindak manusia, pada dataran kenyataan individual dan sosio-kultural, dalam rangka mengusahakan terwujudnya ajaran Islam dalam semua segi kehidupan manusia, dengan menggunakan cara tertentu.[1]
Dakwah adalah kegiatan yang dilakukan secara sadar dan sengaja dengan mengerahkan segala potensi yang dimiliki, baik secara individual maupun bersama-sama, untuk:
a.       Mengajak orang pada ajaran Islam (masuk ke dalam al-Islam bagi mereka yang belum menjadi muslim).
b.      Meningkatkan kualitas pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran Islam (bagi kaum muslimin dalam seluruh tatanan kehidupan dan melaksanakan amar maruf nahyi munkar).[2]
Dakwah adalah sistem dalam menegakkan penjelasan kebenaran, kebaikan, petunjuk ajaran, memerintahkan perbuatan ma’ruf dan mengungkap media-media kebatilan dan metode-metodenya dengan macam-macam pendekatan, metode dan media dakwah.[3]
Epistimologi Dakwah
Epistimologi mencakup “how to” dakwah atau mempelajari dakwah. Yakni cenderung ke arah metode yang dilakukan untuk berdakwah dan cara mempelajari kajian-kajian ilmu tentang dakwah.
Metode-metode dakwah dapat kita lihat di dalam firman Allah SWT:
Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah, dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. (Q.S. An-Nahl [16]: 125).
Dari ayat di atas, tersurat 3 metode dakwah yakni:
a.       Hikmah (nasihat yang baik)
b.      Mau’izhah Hasanah (pelajaran yang baik)
c.       Mujadalah (bantahan yang baik)
Adapun bagaimana (how to) mempelajari ilmu dakwah maka dilakukan dengan pengkajian-pengkajian dengan sumber Al-Quran dan As-Sunnah.
Aksiologi Dakwah
Aksiologi yakni berbicara tentang “untuk apa” dakwah. Dapat diredusi menjadi urgensi dakwah dalam kehidupan. Adapun urgensinya antara lain:
a.       Psiko-etika teologis, yaitu meyakini ke-Maha Esa-an Allah SWT, tauhid uluhiyyah, tauhid rububiyyah, meninggalkan syirik, meyakini Allah menurunkan wahyu, dan adanya kitab Allah SWT, melaksanakan syari’at Islam, mengimani adanya hari pembalasan, istiqamah mempertahankan keyakinan, melaksanakan kewajiban berdo’a, mengharap rahmat Allah, berdzikir dengan qalb, lisan dan perbuatan, berbuat ihsan, tawadhu, dan mengharap ridla Allah SWT.
b.      Psiko-etika intraindividu, yaitu mensyukuri nikmat akal dengan mengoptimalkan penggunaannya berupa kreatif-intelektual dan kreatif-intuitif, khusyu dalam shalat, menghindarkan penyakit keras hati, membersihkan dan mensucikan jiwa, menaati nasihat, beramal shaleh, dan lain sebagainya.
c.       Sosio-etika religius, yaitu tidak mengikuti berpikir paradoksial ala Yahudi, menegakkan perkara yang ma’ruf dan mencegah perkara yang munkar, menjauhi langkah-langkah syetan, menentang ajakan taklid buta, mewujudkan rumah tangga sakinah, mawaddah warahmah, berijtihad di jalan Allah SWT, menjaga kemurnian tauhid, memperoleh ibrah dari sejarah, wajib meninggalkan rafats, fusuq, dan jidal yang tidak baik.[4]



[1] Didin Hafidhuddin, Dakwah Aktual, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), hlm. 68.
[2] Didin Hafidhuddin, Islam Aplikatif, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), hlm. 193.
[3] Enjang AS dan Aliyudin, Dasar-Dasar Ilmu Dakwah, (Bandung: Widya Padjadjaran, 2009), hlm. 9.
[4] Ibid., hlm. 25.

Kebohongan Seorang Ibu


Siapa yang harus aku patuhi wahai Rasulullah?”, tanya seorang sahabat.
Rasulullah menjawab, “Ibumu”.
“Siapa lagi wahai Rasulullah?”, ia kembali bertanya.
“Ibumu”.
“Siapa lagi wahai Rasulullah?”
“Ibumu, kemudian ayahmu”.
Firman Allah SWT:
“Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-bapaknya. dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya. hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Ankabuut: 8).
Berbuat baik kepada oraangtua, tidaklah dapat menggantikan jasa mereka. Setumpuk permasalahan yang mereka miliki, tertutup rapi dengan torehan senyum di bibir mereka. Tahukah kalian semua? Sadarkan kalian semua bahwa orangtua kita sering berbuat kebohongan kepada kita? Lantas kenapa pula kita hanya diam saja tidak melakukan unjuk rasa atas kebohongan yang mereka lakukan? Eittt, tenang dulu… jangan langsung suudzan kepada mereka okokok…!!!m Mari kita telusuri bersama dan renungkan berbagai tipu daya orangtua di bawah ini. Benarkah ini adalah kebohongan? Ataukan sejenis yang lainnya? Silahkan Open Minded untuk mempersepsikannya!
Ketika ada sepotong daging di rumah, orangtua kita berkata, “Makanlah nak ibu dan ayah tidak suka daging”.
Ketika musim hujan tiba dan hanya ada 1 selimut, “Pakailah nak, kami tidak merasa dingin”.
Ketika kita pulang ke rumah setelah sekolah dan ingin membantu ibu/ayah, “Istirahatlah nak, kau lelah sekolah sedangkan ibu/ayah dari tadi istirahat di rumah”,
Ketika kita sukses dan ingin mengajak ibu di tempat tinggal kita, “Biarkan nak, ibu/ayah sudah terbiasa dengan rumah tua”.
Dari beberapa kebohongan di atas, dapat kita renungkan dan ternyata bagi orangtua bahwa setiap hari adalah hari anak. Saya merasa tidak sepakat akan adanya hari ibu yang ditentukan waktunya, karena ibu pun tidak memilih hari untuk terus ada di setiap langkah kita. Setiap hari adalah hari ibu guys, jasa ibu berjalan beiringan dengan lelehan air mata, kasih sayang ayah menghampiri dengan keringatnya dari hasil bekerja.