PERAN
MANUSIA SESUAI MAKNA
MAKALAH
Tugas Individu
Diajukan
Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata
Kuliah Filsafat Dakwah
Oleh:
Ipah
Nurholipah
1210404021
JURUSAN
PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM
FAKULTAS
DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI
SUNAN
GUNUNG DJATI
BANDUNG
2011
M./1433 H.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di dalam Al-Quran, kata yang memiliki makna manusia tidak hanya satu, di
antaranya adalah An-Naas, Insan, Khalifah, Basyar, dan ‘Abdun. Dari
kelima kata tersebut tentunya memiliki makna yang berbeda dalam mendefinisikan
manusia. Hal ini disesuaikan dengan konteks kalimat dan dikorelasikan dengan
kontekstual di dalam realita.
Al-Quran berbicara tentang manusia mulai dari penciptaan, peran di bumi
serta tempat kembali. Semua tersusun rapih dan telah disuratkan di Lauh
Al-Mahfuzh. Peran manusia dari kata An-Naas dengan kata Insan
tentu akan berbeda. Dengan demikian perlu dilakukan sebuah kajian untuk
memfokuskan kata-kata tersebut dalam memaknai ayat-ayat Al-Quran.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana peran manusia dengan kata khalifah?
2.
Bagaimana peran manusia dengan kata basyar?
3.
Bagaimana peran manusia dengan kata ‘abdun?
C. Tujuan
1.
Mengetahui peran manusia dengan kata khalifah
2.
Mengetahui peran manusia dengan kata basyar
3.
Mengetahui peran manusia dengan kata ‘abdun
BAB II
PERAN
MANUSIA PERSPEKTIF MAKNA
A. Khalifah
Di dalam Kamus Al-Munawwir, kata “Khalifah” diambil dari
kata “Khalafa” yang artinya menggantikan. Firman Allah SWT:
Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman
kepada para malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah
di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di
bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah.
Padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?”
Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku Mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
(Q.S. Al-Baqarah: 30).
Sebagai
khalifah, manusia diberi tangung jawab pengelolaan alam semesta untuk
kesejahteraan umat manusia, karena alam semesta memang diciptakan Tuhan untuk
manusia. Sebagai wakil Tuhan manusia juga diberi otoritas ketuhanan;
menyebarkan rahmat Tuhan, menegakkan kebenaran, membasmi kebatilan, menegakkan
keadilan, dan bahkan diberi otoritas untuk menghukum mati manusia. Sebagai
hamba manusia adalah kecil, tetapi sebagai khalifah Allah, manusia memiliki
fungsi yang sangat besar dalam menegakkan sendi-sendi kehidupan di muka bumi.
Oleh karena itu, manusia dilengkapi Tuhan dengan kelengkapan psikologis yang
sangat sempurna, akal, hati, syahwat dan hawa nafsu, yang kesemuanya sangat
memadai bagi manusia untuk menjadi makhluk yang sangat terhormat dan mulia,
disamping juga sangat potensil untuk terjerumus hingga pada posisi lebih rendah
dibanding binatang.
Fungsi
Khalifah
Pada
dasarnya, akhlak yang diajarkan Al-Quran
terhadap lingkungan bersumber dari fungi manusia sebagai khalifah. Kekhalifahan
menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya dan
manusia terhadap alam. Kekhalifahan mengandung arti pengayoman,
pemeliharaan, serta pembimbingan, agar setiap makhluk mencapai tujuan
penciptaannya. Dalam pandangan akhlak Islam, seseorang
tidak dibenarkan mengambil buah sebelum matang,
atau memetik bunga sebelum mekar, karena hal ini berarti tidak memberi
kesempatan kepada makhluk untuk mencapai tujuan penciptaannya.
Ini
berarti manusia dituntut untuk mampu menghormati proses-proses yang sedang
berjalan, dan terhadap semua proses yang sedang terjadi. Yang
demikian mengantarkan manusia bertanggung jawab, sehingga ia tidak
melakukan perusakan, bahkan dengan kata lain, “Setiap perusakan terhadap
lingkungan harus dinilai sebagai perusakan pada diri manusia sendiri.”
Binatang, tumbuhan, dan benda-benda tak bernyawa
semuanya diciptakan oleh Allah SWT dan menjadi milik-Nya, serta
semua memiliki ketergantungan kepada-Nya. Keyakinan ini mengantarkan pribadi
muslim untuk menyadari bahwa semuanya adalah “umat” Tuhan yang harus
diperlakukan secara wajar dan baik.
Firman
Allah SWT:
Artinya:
“Dan tidaklah binatang-binatang yang ada
di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan
umat-umat (juga) seperti manusia…”. (Q.S. Al-An’am: 38).
Bahwa
semuanya adalah milik Allah, mengantarkan manusia kepada kesadaran bahwa
apapun yang berada di dalam genggaman
tangannya, tidak lain kecuali amanat
yang harus dipertanggungjawabkan. “Setiap jengkal tanah yang
terhampar di bumi, setiap angin yang berhembus di udara, dan setiap tetes
hujan yang tercurah dari langit akan dimintakan pertanggungjawabannya, manusia
menyangkut pemeliharaan dan pemanfaatannya”, demikian kandungan
penjelasan Nabi saw. tentang firman-Nya dalam Al-Quran, yang
artinya: “Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kemikmatan
(yang kamu peroleh).”. (At-Takatsur: 8).
Dengan
demikian manusia bukan saja dituntut agar tidak
alpa dan angkuh terhadap sumber daya yang dimilikinya, melainkan
juga dituntut untuk memperhatikan apa yang sebenarnya dikehendaki oleh Pemilik
(Tuhan) menyangkut apa yang berada di sekitar manusia. Firman Allah SWT: “Kami
tidak menciptakan langit dan bumi serta yang berada di antara keduanya, kecuali
dengan (tujuan) yang hak dan pada waktu yang ditentukan”. (QS Al-Ahqaf:
3).
Pernyataan
Allah ini mengundang seluruh manusia untuk tidak hanya memikirkan
kepentingan diri sendiri, kelompok, atau bangsa, dan
jenisnya saja, melainkan juga harus berpikir dan bersikap
demi kemaslahatan semua pihak. Ia tidak
boleh bersikap sebagai penakluk alam atau berlaku
sewenang-wenang terhadapnya. Memang, istilah penaklukan alam
tidak dikenal dalam ajaran Islam. Istilah itu muncul dari pandangan mitos
Yunani yang beranggapan bahwa benda-benda alam
merupakan dewa-dewa yang memusuhi manusia sehingga harus
ditaklukkan.
Yang
menundukkan alam menurut Al-Quran adalah Allah. Manusia tidak
sedikit pun mempunyai kemampuan kecuali berkat kemampuan yang dianugerahkan
Tuhan kepadanya. Firman-Nya: “Mahasuci Allah yang menjadikan (binatang) ini
mudah bagi kami, sedangkan kami sendiri tidak mempunyai kemampuan untuk itu.”.
(Q.S. Az-Zukhruf: 13).
Jika
demikian, manusia tidak mencari kemenangan, tetapi keselarasan dengan alam.
Keduanya tunduk kepada Allah, sehingga mereka harus dapat
bersahabat. Al-Quran menekankan agar umat Islam meneladani Nabi Muhammad
saw. yang membawa rahmat untuk seluruh alam (segala sesuatu). Untuk
menyebarkan rahmat itu, Nabi Muhammad saw. bahkan memberi nama semua yang
menjadi milik pribadinya, sekalipun benda-benda itu tak bernyawa. “Nama”
memberikan kesan adanya kepribadian, sedangkan kesan itu mengantarkan
kepada kesadaran untuk bersahabat dengan pemilik nama.
Ini
berarti bahwa manusia dapat memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Namun pada
saat yang sama, manusia tidak boleh tunduk dan
merendahkan diri kepada segala sesuatu yang telah direndahkan Allah
untuknya, berapa pun harga benda-benda itu. Ia tidak boleh diperbudak
oleh benda-benda itu. Ia tidak boleh diperbudak oleh
benda-benda sehingga mengorbankan kepentingannya sendiri. Manusia dalam
hal ini dituntut untuk selalu mengingat-ingat, bahwa ia boleh meraih apapun
asalkan yang diraihnya serta cara meraihnya tidak mengorbankan
kepentingannya di akhirat kelak.
B. Basyar
Basyar diambil dari kata “Basyara”
yang bermakna senang, gembira. Di mana manusia selalu tampak menyenangkan jika
dilihat, namun manusia yang dimaksud adalah manusia yang memiliki sebuah
kepribadian Islam. Kepribadian Islam terdiri dari dua unsur yakni pemikiran
Islam dan tingkah laku yang Islami pula.
Firman Allah SWT, yang
artinya: “Aku adalah basyar (manusia) seperti kamu yang diberi wahyu.” (Q.S.
Al-Kahf: 110). Bahwa Nabi Muhammad saw. pun manusia yang terambil dari kata
basyar, yang memiliki nafsu, melakukan kegiatan makan dan tidak
selamanya puasa, melakukan kegiatan istirahat di malam hari dan tidak selamanya
mendirikan shalat tahajud, serta melakukan kegiatan menikah. Dari sisi lain
diamati bahwa banyak ayat-ayat Al-Quran yang menggunakan kata basyar
yang mengisyaratkan bahwa proses kejadian manusia sebagai basyar, melalui
tahap-tahap sehingga mencapai tahap kedewasaan. Firman Allah SWT:
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya (Allah) menciptakan kamu dari tanah, kemudian ketika kamu menjadi
basyar kamu bertebaran.” (Q.S Ar-Rum: 20).
Bertebaran di sini bisa
diartikan berkembang biak atau bertebaran mencari rezeki. Kedua hal ini tidak
dilakukan oleh manusia kecuali oleh orang yang memiliki kedewasaan dan tanggung
jawab. Karena itu pula Maryam a.s. mengungkapkan keheranannya dapat
memperoleh anak, padahal dia belum pernah disentuh oleh basyar (manusia
dewasa yang mampu memberikan keturunan). (Q.S Ali Imran: 47).
Demikian terlihat basyar
dikaitkan dengan kedewasaan dalam kehidupan manusia, yang menjadikannya mampu
memikul tanggung jawab. Dan karena itu pula, tugas kekhalifahan dibebankan
kepada basyar. (Q.S. Al-Hijr: 28 menggunakan kata basyar), dan (Q.S.
Al-Baqarah: 30 yang menggunakan kata khalifah), yang keduanya mengandung
pemberitaan Allah kepada malaikat tentang manusia.
C. ‘Abdun
‘Abdun berasal dari akar kata
“’Abada” yang artinya, beribadah, menjadi hamba sahaya, budak. Bahwa manusia
adalah hamba Allah, sehingga harus beribadah kepada Allah SWT. Mulai dari
melaksanakan shalat, puasa, zakat, dan haji. Tentunya dengan sebuah ketakwaan
(menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya), sehingga
penghambaan manusia mencapai tingkat Ma’rifatullah
Manusia diciptakan
di alam dunia ini sebagai hamba yang paling sempurna, kenapa begitu makluk lain
hanya bisa makan minum dan berkembang biak, dan tidak diperkenakan untuk
bertanggung jawab pada saat menjalani kehidupannya, lain halnya manusia harus
mempertanggungjawabkan atas apa yang telah ia perbuat selama hidup di dunia.
Oleh sebab itu manusia sebagai makluk yang pandai,
inovasi, dedikasi dan berilmu serta mempunyai nilai seni yang sangat tinggi,
manusia bsebagai hamba tentunya harus melakukan sebuah kewajiban dengan
landasan mencari ridha Allah SWT untuk mengemban amanah sebagai makluk penjaga
dan pemakmur bumi dan alam secara individu maupun kelompok.
Manusia sebagai hamba dapat dianalogikan
dengan pelayan dan sayyid. Seorang pelayan atau khadim harus
melaksanakan kewajiban terhadap sayyid dan menerima haknya. Kewajiban
manusia di muka bumi adalah untuk beribadah kepada Allah SWT, ini sesuai dengan
firman-Nya:
Artinya:
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku.” (Q.S. Adz-Dzariyat: 56).
Dalam arti luas,
ibadah adalah melaksanakan hidup sesuai dengan syariat Islam; aktivitas ekonomi
–seperti berdagang, politik, seni, dan lainnya sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Semua perbuatan baik yang mendatangkan manfaat bagi diri dan orang lain adalah
ibadah atau amal saleh. Seorang Muslim harus memahami benar posisinnya di
hadapan Allah sebagai ‘abid ini. Pemahamannya itu harus terwujudkan
dalam perilaku Islami, karena secara ideal, seseorang yang mengaku dirinya
muslim, dirinya telah benar-benar ter-shibghah (tercelup) kedalam “celupan
Allah”, yakni syariat Islam. Muslim yang sudah ter-shibgah, segala
perilaku kesehariannya berpedoman pada ajaran Islam, setiap gerak langkah dan
perbuatannya “dikendalikan” oleh syariat Islam, sehingga ia selalu berbuat
kebaikan dalam segala hal.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Di dalam Al-Quran, kata yang memiliki makna manusia tidak hanya satu, di
antaranya adalah An-Naas, Insan, Khalifah, Basyar, dan ‘Abdun. Dari
kelima kata tersebut tentunya memiliki makna yang berbeda dalam mendefinisikan
manusia. Hal ini disesuaikan dengan konteks kalimat dan dikorelasikan dengan
kontekstual di dalam realita.
Manusia
sebagai khalifah yakni manusia yang memiliki peran tanggung jawab ketika
menjalani hidup di dunia, bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuat,
sekaligus menjadi seorang pemimpin di muka bumi yang patut untuk dijadikan
contoh dan diikuti oleh umat manusia, sehingga manusia harus memipin dengan
aturan-aturan yang telah Allah berlakukan di dalam Al-Quran.
Manusia
sebagai basyar, yakni manusia semasa hidupnya mengalami proses biologis setelah
menjalani resepsi pernikahan dengan lawan jenisnya. Manusia melakukan aktivitas
yang sama dengan manusia lainnya, seperti makan, minum, bertempat tinggal,
menikah, memiliki keturunan, berinteraksi sosial, dan lain sebagainya.
Manusia
sebagai ‘abdun yakni memposisikan diri sebagai pengabdi, pelaksana kewajiban
kepada Tuhannya. Kewajiban umat Islam adalah melaksanakan segala perintah Allah
dan menjauhi segala larangan Allah SWT. Dalam melaksanakan kewajiban harus
dengan ikhlas dan semata-mata mengharapkan ridha Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA