Undang-Undang
Siti Nurbaya
Tak terasa, waktu begitu cepat berlalu, bak semilir
angin meniupkan layar perahu di samudra biru.
Aku melihat secarik kartu identitas dengan nama Nadya Khoerunnisa, aku
tersenyum dan sedikit bangga dengan title mahasiswi UIN SGD Bandung.
Anak kampung dari Kota Nanas – Subang - yang manja, kini
harus melawan kerasnya kehidupan di kota Bandung. Jika aku tak ingat punya
Allah, Na’udzubillah, mungkin aku sudah terperosok ke limbah nista. Kehidupan
di kota memang sangat menggoda iman. “Alhamdulillah ya Rabb, aku masih memiliki
benteng kuat dari lantunan ayat-ayat-Mu”, batinku, “Semoga aku mampu
beristiqamah di jalan-Mu.”
Meski ku rapuh dalam langkah… nada hp-ku berdering
demikian syahdunya. Aku bergegas mengambilnya di samping tas hitam yang mulai
lusuh. Tas ini lah yang setia menemaniku ke mana pun aku pergi khususnya pergi
ke kampus. “Umi???”, senang rasanya jika nama ini yang muncul di LCD Nexian Hitam-ku.
“Assalamu’alaikum, Mi!”
“Wa’alaikumsalam Nadya!”
“Umi gimana kabarnya?”
“Alhamdulillah Umi sehat. Putri Umi sehat?”
“Alhamdulillah baik juga. Abi ada?”
Umi diam. Tiba-tiba terdengar suara yang sedang
batuk-batuk.
“Umi, Abi sakit ya?”
“E..nggak sayang. Abi sehat, beliau sedang istirahat.”
“Yang barusan batuk-batuk siapa?”
“O, iya! Kapan Nadya pulang?”, Umi mengalihkan arah
pembicaraan.
“Insya Allah bulan depan, Mi. Nadya lagi sibuk,
banyak tugas.”
“Sudah 2 bulan kau tidak pulang, Nak. Apa kau tidak
rindu sama Umi dan Abi?”
“Bukan begitu Umi. Nadya kangen banget tapi masih
sibuk, Insya Allah bulan depan Nadya pulang ko….”
“Bagaimana kalau minggu depan?”, pinta Umi.
Aku tak kuasa menolak permintaan Umi. Rasa rindu ini
tengah membuncah di hati. Tapi, di sebelahku tumpukan buku sedang menanti,
seakan menatapku sinis jika aku sengaja meninggalkan mereka. “Emmm, bagaimana
ya ini?”, batinku. Otakku berputar mencari jalan keluar.
“Aku harus bergadang.”
“Kenapa sayang?”
“E..enggak Mi, iya minggu depan Nadya pulang.”
“Nanti ada yang jemput ke asrama.”
“Siapa?”
“Minggu depan paman mau ke Bandung, katanya mau
lihat-lihat asrama Nadya. ‘Kan Si Bungsu mau kuliah di Bandung juga, biar deket
sama Nadya nanti ada yang jaga.”
“Iya Mi siap!”
“Ya sudah nanti H min. 1 dihubungi lagi ya sayang.”
“Iya Umiku yang cantik.”
“Umi mau ke mesjid dulu ya, ibu-ibu pengajian udah
nunggu jangan lupa dluha sama tahajudnya istiqamah ya sayang.”
“Iya Ibu Kyai”, diiringi tawa kecil.
“Anak Umi ada-ada aja nih. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Klik, telepon
terputus. Aku mengambil binder biru di atas tumpukan Tafsir Ibnu Katsir.
Di lembar pertama, ku dapati fhoto Abi. Gagah sekali, berpakaian batik coklat.
Sedang berpidato di MA Nurul Hidayah, Subang. Semakin lama ku pandangi sosok
pahlawan itu, semakin besar hasrat untuk segera kembali ke rumah. Sayangnya aku
tidak membawa fhoto Umi, karena fhoto Umi disimpan di ruang TV. Bola mataku tak
bisa diam, melirik ke arah fhoto Abi dan ke arah tumpukanTafsir.
“Tadi yang batuk siapa ya? Jangan-jangan Abi. Jadi...Abi
sakit?”, parasku berubah sedih. Namun aku segera menggubris perasaan itu dengan
berprasangka baik. “Mungkin Abi sedang makan tapi keselek.”, sangkaku mengusir
kekhawatiran. “Aku yakin Allah selalu memberikan kesehatan untuk Abi”.
Lelah rasanya badanku. Aku tak boleh bermanja-manja.
Semua yang berhubungan dengan tugas perkuliahan harus segera diselesaikan. Aku
tak ingin Umi kecewa mendengar putrinya tak bisa pulang mengobati rindu. “Bismillaahirrahmaanirrahiim”,
ku ambil laptop saudaraku di lemari. Tentunya setelah meminta izin terlebih
dahulu. Jari-jariku menari di atas keyboard. Supaya tidak jenuh, ku nyalakan
winamp yang memuat lagu-lagu pop dan nasyid.
***
Allahu Akbar Allahu Akbar…Allahu Akbar Allahu Akbar…
Terdengar kumandang adzan dari atas menara mesjid
Al-Mubarak. Terlebih dahulu aku men-turnoff laptop dan lekas ke hammam[1]
mengambil air wudlu. Selepas salam, aku mengambil mushaf kecil berwarna biru
yang sudah berusia 9 tahun. Tepatnya ketika aku duduk di bangku sekolah dasar
kelas V mushaf itu jatuh ke tanganku.
Tak sabar jari-jari ku untuk kembali menari, laptop
langsung ku sambar. “Bismillaahirrahmaanirrahiim”.
Satu per satu tombol keyboard ku sentuh. Hatiku berbisik, “Tugas harus selesai,
tugas harus selesai. Umi dan Abi menantimu,”. Ini membuatku lebih bersemangat
lagi. Hanya saja, aktivitas ini harus ku hentikan karena aku harus ke masjid
Al-Mubarak untuk mengikuti pengajian Qawaidul Lughah Arabiyyah oleh K.H. Tantan
Taqiyudin Lc., beliau adalah pimpinan pondok pesantren Al-Ihsan, Cibiruhilir-Bandung.
Bersama teman se-kamar dan se-asrama, kami menyusuri jalan menuju majlis ilmu.
Pelajaran ini sangat aku sukai, walaupun tidak begitu
bisa. Aku memang menyukai bahasa Arab, ditambah didukung oleh Bapak K.H. Tantan
Taqiyudin Lc. yang santai dalam menyampaikannya. Jam menunjukkan pukul 17.00,
Bapak Kyai Haji mengakhiri pertemuan dengan ucapan hamdalah dan do’a kifarat
masjid.
Para santri keluar dari masjid, ada yang kembali ke
asrama, ada yang tergesa-gesa pergi ke warnet, juga yang berkunjung ke warung
nasi untuk membeli idam[2].
Aku termasuk golongan yang ke-3, pergi ke warung nasi. Tiba di asrama, ku
santap lauk juga sayur dengan lahap. Beginilah kehidupan santri, nasi satu
piring saja dimakan 2 sampai 3 orang. Menurut sebagian, ini dilakukan dengan
tujuan susah senang bersama malah ada yang bilang lebih romantis jika nasi satu
piring tapi yang makannya rombongan. Celingak-celinguk aku mencari hp. Akhirnya
dapat. Kulihat ada 3 pesan. Pesan yang pertama dari teman se-kelas ku Abdul
Aziz namanya. Kebetulan ia satu kelompok di mata kuliah Tafsir.
Assalamu’alaikum ukhti, bagaimana tugas tafsir?
Sudah selesai? Bagaimana kalau besok ngerjainnya bareng di masjid UIN?
Notebook-nya ada di ana.
Aku menekan reply untuk membalas.
Wa’alaikumsalam
belum beres akhi. Iya Insya Allah.
Pesan berikutnya dari Resita, santri asrama 2.
Assalamu’alaikum bu ana mau ikut
makan di asrama 6.
Ku rasa pesan dari ibu yang
bercita-cita jadi presiden ini tidak perlu dibalas.
Pesan yang terakhir dari Ustadz
Khaerul Umam, M.Pd.I., seorang pengelola pondok pesantren Nurul Hidayah.
Salam kumaha pun rayi damang?[3]
Dahiku mengerut, kenapa ustadz ini
sms dengan kata “pun rayi”[4]. Mungkin
beliau salah kirim. Hatiku bertanya-tanya. Sudahlah, aku tak ingin dipusingkan
dengan masalah ini. Aku sangat menghargai beliau, pesan yang singkat ku
kirimkan.
Wa’alaikumsalam Alhamdulillah sae.
Kumaha A Umam sakulawargi daramang?[5]
Beberapa menit kemudian, ada balasan
dari beliau.
Alhamdulillah
A Umam sakulawargi damang.[6]
Ku kirimkan balasan yang ke-2
Nuhun atuh A, upami daramang mah.[7]
Beliau tidak membalas lagi sms. Rasa
penasaranku ternyata masih ada, kenapa beliau panggil “pun rayi”? Tidak ada
tanda-tanda beliau salah kirim sms. Buktinya tadi fine-fine aja sms-nya
nyambung. Pikiranku melanglang buana. Ada sedikit perasaan bahagia di sudut
hati ini. Why not? Beliau adalah orang hebat. Emmm…terus punya adik ikhwan yang
bisa dikatakan ganteng. Diam-diam aku menyukainya.
Sebenarnya, perasaan ini telah bersemayam ketika aku
masih mengenyam ilmu agama di pondok pesantren Nurul Hidayah. Sebelumnya, aku
berkaca siapa aku ini. Aku bukan orang yang patut diistimewakan di depannya
yang super istimewa. “Astagfirullah”, aku jadi malu sendiri. Tak sepatutnya
rasa ini muncul ke permukaan hati namun tetap saja tidak bisa dibohongi bahwa
aku terkena syndrome pink. Biarlah jodoh telah diatur oleh Allah.
***
Akhirnya
waktu yang dinanti pun tiba, yaitu pulang kampung. Senang rasanya, tugas
selesai dan kini bisa pulang ke rumah dengan tenang. Hari ini tepatnya adalah
hari Kamis. Aku sudah meminta izin kepada pihak pimpinan pesantren untuk pulang
ke Subang. Alhamdulillah beliau mengizinkan. Beliau memang sosok pemimpin yang
pengertian dan perhatian terhadap santri-santrinya.
Setelah
semua yang dibutuhkan dirapikan ke dalam tas. Aku pamit kepada teman-teman di
kamar. Mereka sangat baik dan perhatian, mendo’akan agar aku selamat sampai
tujuan. Aku menunggu paman yang janji akan menjemput di depan Gedung Ganesha. Malu
rasanya, ternyata paman sudah tiba lebih awal. Aku bersalaman dengan paman.
“Neng makin
cantik aja.”
“Ah paman…Si Bungsu
juga cantik”, aku tersipu malu.
Tiba-tiba sosok
ikhwan keluar dari Honda Jazz Hitam pamanku. Dia tersenyum padaku. Aku hampir
tak berkedip, tanpa sadar aku mengucapkan tasbih, “Subhaanallah”. Segera ku
tundukkan pandangan setelah sadar bahwa yang ku lakukan adalah tingkah yang
bodoh. “Astagfirullaah. Ya Allah aku berlindung dari godaan syetan”. Tak bisa
dipungkiri bahwa dialah sosok yang ku kagumi selama ini, adik seorang ustadz
yang pernah membimbingku, Khaerul Umam, M.Pd.I., yang bernama Syarif Muttaqin.
Mahasiswa Universitas Subang (UNSUB) sekaligus STAI Al-Jawami Bandung. Aku jadi
salting.
“Ayo kita
langsung berangkat.”
“Iya paman.”
Sosok ikhwan ini
duduk di depan samping paman yang santai di balik kendali mobil. Aku tidak
mengerti kenapa dia ikut ke Bandung. Apakah ada keperluan atau mau menjemputku.
Oops, kenapa jadi GR ya?
“Kata Umi, paman
mau lihat asrama Dinda.”
“Lain kali saja,
kalau sekarang lagi sibuk.”
Tanda tanya
besar hinggap di benakku, “Lantas ke Bandung ada keperluan apa? Apa sengaja
ingin menjemputku atau ada keperluan lainnya?” Aku hanya memendam tanda tanya
besar itu, mungkin lain kali akan ku tanyakan pada paman. Aku melemparkan
pandangan pada sosok yang ada di samping paman. Rasanya dari tadi orang ini
diam saja. Aku coba mulai dengan melontarkan pertanyaan basa-basi padanya.
“A Syarif mau ke
STAI Al-Jawami?”
“Ah enggak cuma
jalan-jalan aja. Bagaimana kuliahnya?”
“Alhamdulillah
lancar.”
“Baguslah kalau
begitu.”
Akhirnya kami
ber-3 larut dalam percakapan yang lumayan seru. Alhamdulillah akhirnya tiba di
rumah. Aku mencium tangan Umi dan Abi diikuti A Syarif yang berpamitan pulang
ke pondok. Aku mengantarnya sampai pintu. Ia mengendarai Vixion Ungu. Banyak
sekali yang ingin aku tanyakan padanya mengapa dia ikut mengapa ini mengapa
itu, namun tiba-tiba saja daftar pertanyaan itu buyar ketika Umi memanggilku.
“Nadya…!”,
panggil Umi.
“Sebelum
kamu istirahat, Umi mau bicara serius.”
“Ada
apa Umi?”
“Yuk…ke
ruang tamu.”
Abi
sedang duduk sambil bertasbih. Aku duduk di sofa abu-abu.
“Umi
dan Abi tidak ingin membebanimu”, Umi memulai pembicaraan.
“Perlu
Dinda ketahui bahwa perusahaanAbi kini tengah bangkrut.”
“Innalillaah...ini
cobaan Umi. Allah Mahakaya. Pasti ada hikmah di balik setiap peristiwa”, aku
menenangkan suasana. Sementara Abi masih asyik dengan tasbihnya.
“Umi senang
dengan jawabanmu. Kamu sudah dewasa sekarang. Setelah perusahaan bangkrut,
otomatis kami tidak punya apa-apa lagi untuk membiayai kuliah Nadya. Maka dari
itu, maukah Nadya menerima saran Umi?”
“Apa itu Umi?”,
tanyaku penasaran.
“Menikahlah, Nak!”
Gubraaaaakkkkkkkkk.
Seperti petir menyambar yang masuk ke dalam telingaku. “Ada seorang ikhwan yang
sengaja datang ke rumah beberapa hari yang lalu. Ia datang meminangmu langsung
meminta kepada Umi dan Abi.”
“Tapi Umi…”
Umi harap kamu
tidak menolak, undangan sudah disebar. Resepsinya akan segera diselenggarakan
esok hari.
Bruuukkkkkk. Ku
lemparkan badan ke punggung sofa. Ada kehangatan yang mengalir dari sudut mataku.
Abi diam saja. Aku tidak mengerti kenapa di zaman sekarang Undang-undang Siti
Nurbaya masih berlaku.
“Umi menunggu
jawabanmu nanti malam. Sekarang Nadya istirahat saja dulu.”
Aku lari menuju
kamar. Sejadi-jadinya ku keluarkan air mata. Terlintas untuk kabur dari rumah
tapi tidak mungkin. Kalau aku menolak, maka yang malu adalah orangtuaku. Itu
artinya, aku adalah anak yang durhaka. Detik-detik hingga jam ku lewati dengan
berfikir tentang keputusan yang harus kuambil.
“Ya Allah apa
yang harus aku lakukan?”, curhatku kepada Allah.
Mau tidak mau
aku harus taat pada Umi dan Abi. Ya, aku terima tawaran Umi. Namun, siapa yang
akan menjadi mempelai pria? Bagaimana dengan perasaanku kepada A Syarif? Apakah
dia tau kalau aku kan menikah besok? Apakah dia punya perasaan yang sama
denganku?
Esoknya, sesudah
shalat subuh aku temui Umi.
“Umi, Nadya mau
menikah hari ini.”
Umi langsung
memeluk tubuhku. Kami larut dalam tangis antara bahagia dan sedih. “Terima
kasih sayang, sekarang Nadya siap-siap ya, nanti ada yang akan mendandani.”
“Iya Umi”, aku paksakan
untuk tersenyum di depannya. Aku tak sampai hati jika menolak permintaannya.
Tamu undangan
sudah memenuhi ruangan. Aku dituntun Umi keluar kamar karena acara ijab kabul
akan segera dimulai. “Lucu banget sich, mau nikah tapi gak tahu calonnya.
Semoga A Syarif gak hadir”, batinku kembali konflik. Saat keluar kamar, aku
hanya menunduk sampai duduk di samping ikhwan yang akan menikahiku hari ini.
“Bismillaahirrahmaanirrahiim”,
perlahan ku tegakkan kepalaku melihat Abi sebagai wali. Penghulu tengah hadir
beserta saksi-saksi.
“Nadya”, calon
suamiku memanggil.
“Iya”, sedikit
ragu ku menoleh ke sebelah kanan. Dag dig dug jantungku tidak karuan. Tangan
berkeringat dingin, gemetar.
“Ya Allah”, aku
terkejut lalu menundukkan pandangan. Ternyata…dia adalah A Syarif Muttaqin. Tak
tergambar bagaimana senangnya hatiku. Ya Rabb, inilah hikmah di balik
peristiwa.
Ijab-kabul
diselenggarakan dengan khidmat. “Sah…sah”, demikian penuturan pamanku yang
menjadi salah satu saksi dan diikuti saksi-saksi lainnya.
Nikah muda
sangat indah. Bercinta mesra dengan pujaan hati. Subhaanallaah, ridlai mahligai
rumah tangga kami. Semoga sakinah mawaddah warahmah. Aamiin.
0 komentar:
Posting Komentar