Filsafat Dakwah


PERAN MANUSIA SESUAI MAKNA
MAKALAH
Tugas Individu
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah Filsafat Dakwah

Oleh:
Ipah Nurholipah
1210404021


                             
JURUSAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2011 M./1433 H.


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Di dalam Al-Quran, kata yang memiliki makna manusia tidak hanya satu, di antaranya adalah An-Naas, Insan, Khalifah, Basyar, dan ‘Abdun. Dari kelima kata tersebut tentunya memiliki makna yang berbeda dalam mendefinisikan manusia. Hal ini disesuaikan dengan konteks kalimat dan dikorelasikan dengan kontekstual di dalam realita.
Al-Quran berbicara tentang manusia mulai dari penciptaan, peran di bumi serta tempat kembali. Semua tersusun rapih dan telah disuratkan di Lauh Al-Mahfuzh. Peran manusia dari kata An-Naas dengan kata Insan tentu akan berbeda. Dengan demikian perlu dilakukan sebuah kajian untuk memfokuskan kata-kata tersebut dalam memaknai ayat-ayat Al-Quran.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana peran manusia dengan kata khalifah?
2.      Bagaimana peran manusia dengan kata basyar?
3.      Bagaimana peran manusia dengan kata ‘abdun?

C.    Tujuan
1.      Mengetahui peran manusia dengan kata khalifah
2.      Mengetahui peran manusia dengan kata basyar
3.      Mengetahui peran manusia dengan kata ‘abdun


BAB II
PERAN MANUSIA PERSPEKTIF MAKNA

A.      Khalifah
Di dalam Kamus Al-Munawwir, kata “Khalifah” diambil dari kata “Khalafa” yang artinya menggantikan. Firman Allah SWT:
  
Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah. Padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku Mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Q.S. Al-Baqarah: 30).
            Sebagai khalifah, manusia diberi tangung jawab pengelolaan alam semesta untuk kesejahteraan umat manusia, karena alam semesta memang diciptakan Tuhan untuk manusia. Sebagai wakil Tuhan manusia juga diberi otoritas ketuhanan; menyebarkan rahmat Tuhan, menegakkan kebenaran, membasmi kebatilan, menegakkan keadilan, dan bahkan diberi otoritas untuk menghukum mati manusia. Sebagai hamba manusia adalah kecil, tetapi sebagai khalifah Allah, manusia memiliki fungsi yang sangat besar dalam menegakkan sendi-sendi kehidupan di muka bumi. Oleh karena itu, manusia dilengkapi Tuhan dengan kelengkapan psikologis yang sangat sempurna, akal, hati, syahwat dan hawa nafsu, yang kesemuanya sangat memadai bagi manusia untuk menjadi makhluk yang sangat terhormat dan mulia, disamping juga sangat potensil untuk terjerumus hingga pada posisi lebih rendah dibanding binatang.
Fungsi Khalifah
Pada  dasarnya,  akhlak  yang  diajarkan   Al-Quran   terhadap lingkungan bersumber dari fungi manusia sebagai khalifah. Kekhalifahan  menuntut  adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya dan manusia terhadap alam. Kekhalifahan  mengandung arti pengayoman, pemeliharaan, serta pembimbingan, agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya. Dalam  pandangan  akhlak Islam,  seseorang  tidak  dibenarkan mengambil  buah  sebelum  matang,  atau memetik bunga sebelum mekar, karena hal ini berarti tidak memberi kesempatan kepada makhluk untuk mencapai tujuan penciptaannya.
Ini  berarti manusia dituntut untuk mampu menghormati proses-proses yang sedang berjalan, dan terhadap semua  proses yang sedang  terjadi. Yang demikian mengantarkan manusia bertanggung jawab, sehingga  ia tidak melakukan perusakan, bahkan dengan kata lain, “Setiap perusakan terhadap lingkungan harus dinilai sebagai perusakan pada diri manusia sendiri.” Binatang, tumbuhan,  dan benda-benda  tak  bernyawa  semuanya diciptakan  oleh Allah SWT dan menjadi milik-Nya, serta semua memiliki ketergantungan kepada-Nya. Keyakinan ini mengantarkan pribadi muslim untuk menyadari bahwa semuanya adalah “umat” Tuhan yang harus diperlakukan secara wajar dan baik.
Firman Allah SWT:   
Artinya: Dan tidaklah binatang-binatang yang ada di bumi dan  burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan  umat-umat (juga)  seperti manusia…”. (Q.S. Al-An’am: 38).
Bahwa semuanya adalah milik Allah, mengantarkan manusia kepada kesadaran  bahwa  apapun  yang  berada  di  dalam  genggaman tangannya,   tidak lain   kecuali    amanat    yang    harus dipertanggungjawabkan. “Setiap jengkal tanah yang terhampar di bumi, setiap angin yang berhembus di udara,  dan setiap tetes hujan yang tercurah dari langit akan dimintakan pertanggungjawabannya, manusia menyangkut pemeliharaan  dan pemanfaatannya”, demikian   kandungan  penjelasan  Nabi  saw. tentang firman-Nya dalam Al-Quran, yang artinya: “Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kemikmatan (yang  kamu  peroleh).”. (At-Takatsur: 8).
Dengan demikian  manusia bukan  saja  dituntut  agar tidak  alpa  dan angkuh terhadap sumber daya yang dimilikinya, melainkan juga dituntut untuk memperhatikan apa yang sebenarnya dikehendaki oleh Pemilik (Tuhan) menyangkut apa yang berada di sekitar manusia. Firman Allah SWT: “Kami tidak menciptakan langit dan bumi serta yang berada di antara keduanya, kecuali dengan (tujuan) yang hak dan pada waktu yang ditentukan”. (QS Al-Ahqaf: 3).
Pernyataan Allah ini mengundang seluruh manusia untuk tidak hanya memikirkan  kepentingan  diri  sendiri,  kelompok, atau bangsa, dan jenisnya saja, melainkan juga harus  berpikir  dan bersikap  demi  kemaslahatan  semua pihak.  Ia  tidak  boleh bersikap  sebagai penakluk alam  atau  berlaku sewenang-wenang terhadapnya. Memang,  istilah  penaklukan  alam tidak dikenal dalam ajaran Islam. Istilah itu muncul dari pandangan mitos Yunani  yang beranggapan bahwa  benda-benda  alam  merupakan dewa-dewa yang memusuhi  manusia sehingga harus ditaklukkan.
Yang menundukkan alam menurut Al-Quran adalah  Allah.  Manusia tidak sedikit pun mempunyai kemampuan kecuali berkat kemampuan yang dianugerahkan Tuhan kepadanya. Firman-Nya: “Mahasuci Allah yang menjadikan (binatang) ini mudah bagi kami, sedangkan kami sendiri tidak mempunyai kemampuan untuk itu.”. (Q.S. Az-Zukhruf: 13).
Jika demikian, manusia tidak mencari kemenangan, tetapi keselarasan dengan alam. Keduanya  tunduk  kepada  Allah, sehingga mereka harus dapat bersahabat. Al-Quran menekankan agar umat Islam meneladani Nabi Muhammad saw. yang membawa rahmat untuk seluruh alam (segala sesuatu). Untuk menyebarkan rahmat itu, Nabi Muhammad saw. bahkan memberi nama semua yang menjadi milik pribadinya, sekalipun benda-benda itu tak bernyawa. “Nama” memberikan kesan adanya kepribadian, sedangkan kesan itu mengantarkan kepada kesadaran untuk bersahabat dengan pemilik nama.
Ini berarti bahwa manusia dapat memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Namun pada saat yang sama, manusia tidak  boleh  tunduk  dan merendahkan diri kepada segala sesuatu yang telah direndahkan Allah untuknya, berapa pun harga benda-benda  itu. Ia tidak boleh diperbudak  oleh  benda-benda  itu. Ia tidak boleh diperbudak oleh benda-benda sehingga  mengorbankan kepentingannya sendiri. Manusia dalam hal ini dituntut untuk selalu mengingat-ingat, bahwa ia boleh meraih apapun  asalkan yang diraihnya serta cara meraihnya tidak mengorbankan kepentingannya di akhirat kelak.
B.       Basyar
Basyar diambil dari kata “Basyara” yang bermakna senang, gembira. Di mana manusia selalu tampak menyenangkan jika dilihat, namun manusia yang dimaksud adalah manusia yang memiliki sebuah kepribadian Islam. Kepribadian Islam terdiri dari dua unsur yakni pemikiran Islam dan tingkah laku yang Islami pula.
Firman Allah SWT, yang artinya: “Aku adalah basyar (manusia) seperti kamu yang diberi wahyu.” (Q.S. Al-Kahf: 110). Bahwa Nabi Muhammad saw. pun manusia yang terambil dari kata basyar, yang memiliki nafsu, melakukan kegiatan makan dan tidak selamanya puasa, melakukan kegiatan istirahat di malam hari dan tidak selamanya mendirikan shalat tahajud, serta melakukan kegiatan menikah. Dari sisi lain diamati bahwa banyak ayat-ayat Al-Quran yang menggunakan kata basyar yang mengisyaratkan bahwa proses kejadian manusia sebagai basyar, melalui tahap-tahap sehingga mencapai tahap kedewasaan. Firman Allah SWT:
  
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya (Allah) menciptakan kamu dari tanah, kemudian ketika kamu menjadi basyar kamu bertebaran.” (Q.S Ar-Rum: 20).
Bertebaran di sini bisa diartikan berkembang biak atau bertebaran mencari rezeki. Kedua hal ini tidak dilakukan oleh manusia kecuali oleh orang yang memiliki kedewasaan dan tanggung jawab. Karena itu pula Maryam a.s. mengungkapkan keheranannya dapat memperoleh anak, padahal dia belum pernah disentuh oleh basyar (manusia dewasa yang mampu memberikan keturunan). (Q.S Ali Imran: 47).
Demikian terlihat basyar dikaitkan dengan kedewasaan dalam kehidupan manusia, yang menjadikannya mampu memikul tanggung jawab. Dan karena itu pula, tugas kekhalifahan dibebankan kepada basyar. (Q.S. Al-Hijr: 28 menggunakan kata basyar), dan (Q.S. Al-Baqarah: 30 yang menggunakan kata khalifah), yang keduanya mengandung pemberitaan Allah kepada malaikat tentang manusia.
 C.      ‘Abdun
‘Abdun berasal dari akar kata “’Abada” yang artinya, beribadah, menjadi hamba sahaya, budak. Bahwa manusia adalah hamba Allah, sehingga harus beribadah kepada Allah SWT. Mulai dari melaksanakan shalat, puasa, zakat, dan haji. Tentunya dengan sebuah ketakwaan (menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya), sehingga penghambaan manusia mencapai tingkat Ma’rifatullah
Manusia diciptakan di alam dunia ini sebagai hamba yang paling sempurna, kenapa begitu makluk lain hanya bisa makan minum dan berkembang biak, dan tidak diperkenakan untuk bertanggung jawab pada saat menjalani kehidupannya, lain halnya manusia harus mempertanggungjawabkan atas apa yang telah ia perbuat selama hidup di dunia.
Oleh sebab itu manusia sebagai makluk yang pandai, inovasi, dedikasi dan berilmu serta mempunyai nilai seni yang sangat tinggi, manusia bsebagai hamba tentunya harus melakukan sebuah kewajiban dengan landasan mencari ridha Allah SWT untuk mengemban amanah sebagai makluk penjaga dan pemakmur bumi dan alam secara individu maupun kelompok.
Manusia sebagai hamba dapat dianalogikan dengan pelayan dan sayyid. Seorang pelayan atau khadim harus melaksanakan kewajiban terhadap sayyid dan menerima haknya. Kewajiban manusia di muka bumi adalah untuk beribadah kepada Allah SWT, ini sesuai dengan firman-Nya:

Artinya: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (Q.S. Adz-Dzariyat: 56).
Dalam arti luas, ibadah adalah melaksanakan hidup sesuai dengan syariat Islam; aktivitas ekonomi –seperti berdagang, politik, seni, dan lainnya sesuai dengan nilai-nilai Islam. Semua perbuatan baik yang mendatangkan manfaat bagi diri dan orang lain adalah ibadah atau amal saleh. Seorang Muslim harus memahami benar posisinnya di hadapan Allah sebagai ‘abid ini. Pemahamannya itu harus terwujudkan dalam perilaku Islami, karena secara ideal, seseorang yang mengaku dirinya muslim, dirinya telah benar-benar ter-shibghah (tercelup) kedalam “celupan Allah”, yakni syariat Islam. Muslim yang sudah ter-shibgah, segala perilaku kesehariannya berpedoman pada ajaran Islam, setiap gerak langkah dan perbuatannya “dikendalikan” oleh syariat Islam, sehingga ia selalu berbuat kebaikan dalam segala hal.

  

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Di dalam Al-Quran, kata yang memiliki makna manusia tidak hanya satu, di antaranya adalah An-Naas, Insan, Khalifah, Basyar, dan ‘Abdun. Dari kelima kata tersebut tentunya memiliki makna yang berbeda dalam mendefinisikan manusia. Hal ini disesuaikan dengan konteks kalimat dan dikorelasikan dengan kontekstual di dalam realita.
            Manusia sebagai khalifah yakni manusia yang memiliki peran tanggung jawab ketika menjalani hidup di dunia, bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuat, sekaligus menjadi seorang pemimpin di muka bumi yang patut untuk dijadikan contoh dan diikuti oleh umat manusia, sehingga manusia harus memipin dengan aturan-aturan yang telah Allah berlakukan di dalam Al-Quran.
            Manusia sebagai basyar, yakni manusia semasa hidupnya mengalami proses biologis setelah menjalani resepsi pernikahan dengan lawan jenisnya. Manusia melakukan aktivitas yang sama dengan manusia lainnya, seperti makan, minum, bertempat tinggal, menikah, memiliki keturunan, berinteraksi sosial, dan lain sebagainya.
            Manusia sebagai ‘abdun yakni memposisikan diri sebagai pengabdi, pelaksana kewajiban kepada Tuhannya. Kewajiban umat Islam adalah melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan Allah SWT. Dalam melaksanakan kewajiban harus dengan ikhlas dan semata-mata mengharapkan ridha Allah SWT.
           


DAFTAR PUSTAKA


Sudut Pandang Budaya


Nilai Uluhiyah Dalam Ajaran Ritual Masyarakat Cikondang

            Masyarakat Desa Cikondang adalah masyarakat yang beragama Islam. Mereka menyembah Allah SWT sesuai dengan apa yang telah disyariatkan di dalam ajaran Al-Quran dan As-Sunnah. Kepercayaan mereka utuh sepenuhnya beriman kepada Allah SWT, tanpa menyekutukan-Nya. Di samping itu, ada hal-hal yang dijadikan sebagai perantara untuk lebih memantapkan kepercayaannya itu. Di antaranya adalah mereka merayakan sebuah peringatan tahun baru Islam yang jatuh pada bulan Muharram. Peringatan ini dimulai pada tanggal 1 sampai malam tanggal 15 Muharram.
            Masyarakat Cikondang mempercayai akan adanya hal yang ghaib, namun mereka tidak melakukan ritual yang ditujukan kepada yang ghaib tersebut melainkan menjadikan ritual tersebut sebagai perantara untuk lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Mereka melakukan ritual tersebut dengan dalih meneruskan adat nenek moyang supaya tidak punah, tidak hilang ditelan oleh kemajuan jaman. Ritual ini dilakukan pada mulanya oleh nenek moyang Desa Cikondang kemudian selanjutnya dilestarikan oleh masyarakat setempat. Namun, masyarakat yang dapat bergabung untuk memperingati ritual ini tidak sembarangan karena harus diikuti oleh orang-orang tertentu yang berasal dari keturunan asli nenek moyang.
            Adapun pendeskripsian ritual tahun baru Islam adalah warga Desa Cikondang –keturunan nenek moyang- membawa tiga ayam dengan warna yang berbeda; ayam berwarna putih (bodas), ayam berwarna hitam (hideung), dan ayam berwarna abu-abu (hawuk). Masing-masing warna ayam ini memiliki makna filosofi tersendiri. Ayam yang berwarna putih (bodas) bermakna suci, dalam artian ritual Muharraman tidak boleh diikuti oleh orang yang tidak suci seperti wanita yang sedang datang bulan. Untuk menghadapi hal-hal yang ghaib saja harus suci, apalagi jika berhadapan dengan Allah SWT dalam beribadah. Selanjutnya, ayam yang berwarna abu-abu (hawuk), memikili makna jangan serakah, tamak, rakus, dan harus berlaku adil. Segala sesuatu yang manusia miliki, secara hakikatnya adalah milik Allah SWT, sedangkan manusia hanya diberi amanat maka harus dipergunakan sebagaimana mestinya dan untuk jalan kemasalahatan. Ayam yang berwarna hitam (hideung) memiliki makna hideng, mampu bekerja tanpa harus diperintah, memiliki sikap inisiatif dan kreatif untuk bekerja.
            Menurut juru kunci Desa Cikondang, ritual yang dilakukan tidak ada sedikit pun mengarah kepada hal-hal yang sifatnya musyrik, menyekutukan Allah SWT. Keimanan tetap kepada Allah dan di sisi lain kita pun harus mengimani hal ghaib, karena hal yang ghaib pun diciptakan oleh Allah SWT.
            Tujuan memperingati tahun baru Islam ini sebagai mengenang peristiwa-peristiwa luar biasa pada masa para nabi dan rasul, misalnya Nabi Adam a.s. mendapat ampunan dari Allah SWT, Nabi Ibrahim a.s. selamat dari bara api, Nabi Musa a.s. selamat dari kejaran Raja Fir’aun, dan lain sebagainya. Selanjutnya, sebagai bukti rasa syukur kepada Allah SWT. Firman-Nya:

Artinya: “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih’.” (Q.S. Ibrahim: 7).
Di Desa ini, ada angka keramat yakni angka 3 yang mengandung makna: hubungan manusia dengan Allah SWT, hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan hubungan manusia dengan alam. Hubungan manusia dengan Allah SWT yakni dengan cara beribadah kepada Allah mengharap keridhaan-Nya. Hubungan manusia dengan manusia lainnya yakni berinteraksi sosial tanpa ada penyakit hati seperti dengki, hasud, iri, dan lain sebagainya yang bisa memperpecah tali silatrahmi antar warga Desa Cikondang. Hubungan manusia dengan alam yakni masyarakat Desa Cikondang harus menjaga alam dengan sebaik-baiknya jangan merusak karena kebanyakan manusia melakukan eksploitasi terhadap kekayaan alam yang akhirnya menimbulkan kerusakan di muka bumi. Sebagaimana firman Allah SWT:

Artinya: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Q.S. Ar-Ruum: 41).
            Prinsip kehidupan dengan angka 3 di atas akan mengantarkan kehidupan manusia selamat dunia dan akhirat. Di samping itu juga, angka 3 mengandung makna Tekad, Ucap, dan Lampah. Tekad seorang manusia terletak di dalam hati, kemudian ucap terletak di dalam lisan dan lampah terletak pada perbuatan. Hal ini senada dengan konsep iman berikut ini.

Artinya: “Iman adalah meyakini dengan hati, diucapkan dengan lisan dan dilakukan dengan amal perbuatan”.
            Ritual keagamaan di bulan muharram, dan keramat angka 3 sangat sinkron dengan ajaran agama Islam. Ini dapat dijadikan ibrah sebagai prinsip kehidupan manusia. Islam mengajarkan pribadi yang suci yang kreatif dan inisiatif dalam bekerja juga melarang manusia agar tidak memiliki sikap serakah yang mencelakakan. Kesemuanya itu dapat direalisasikan dengan cara berhubungan baik dengan Allah SWT, dengan manusia dan dengan alam.

Undang-Undang Siti Nurbaya


Undang-Undang Siti Nurbaya

Tak terasa, waktu begitu cepat berlalu, bak semilir angin meniupkan layar perahu di samudra biru.  Aku melihat secarik kartu identitas dengan nama Nadya Khoerunnisa, aku tersenyum dan sedikit bangga dengan title mahasiswi UIN SGD Bandung.
Anak kampung dari Kota Nanas – Subang - yang manja, kini harus melawan kerasnya kehidupan di kota Bandung. Jika aku tak ingat punya Allah, Na’udzubillah, mungkin aku sudah terperosok ke limbah nista. Kehidupan di kota memang sangat menggoda iman. “Alhamdulillah ya Rabb, aku masih memiliki benteng kuat dari lantunan ayat-ayat-Mu”, batinku, “Semoga aku mampu beristiqamah di jalan-Mu.”
Meski ku rapuh dalam langkah… nada hp-ku berdering demikian syahdunya. Aku bergegas mengambilnya di samping tas hitam yang mulai lusuh. Tas ini lah yang setia menemaniku ke mana pun aku pergi khususnya pergi ke kampus. “Umi???”, senang rasanya jika nama ini yang muncul di LCD Nexian Hitam-ku.
“Assalamu’alaikum, Mi!”
“Wa’alaikumsalam Nadya!”
“Umi gimana kabarnya?”
“Alhamdulillah Umi sehat. Putri Umi sehat?”
“Alhamdulillah baik juga. Abi ada?”
Umi diam. Tiba-tiba terdengar suara yang sedang batuk-batuk.
“Umi, Abi sakit ya?”
“E..nggak sayang. Abi sehat, beliau sedang istirahat.”
“Yang barusan batuk-batuk siapa?”
“O, iya! Kapan Nadya pulang?”, Umi mengalihkan arah pembicaraan.
“Insya Allah bulan depan, Mi. Nadya lagi sibuk, banyak tugas.”
“Sudah 2 bulan kau tidak pulang, Nak. Apa kau tidak rindu sama Umi dan Abi?”
“Bukan begitu Umi. Nadya kangen banget tapi masih sibuk, Insya Allah bulan depan Nadya pulang ko….”
“Bagaimana kalau minggu depan?”, pinta Umi.
Aku tak kuasa menolak permintaan Umi. Rasa rindu ini tengah membuncah di hati. Tapi, di sebelahku tumpukan buku sedang menanti, seakan menatapku sinis jika aku sengaja meninggalkan mereka. “Emmm, bagaimana ya ini?”, batinku. Otakku berputar mencari jalan keluar.
“Aku harus bergadang.”
“Kenapa sayang?”
“E..enggak Mi, iya minggu depan Nadya pulang.”
“Nanti ada yang jemput ke asrama.”
“Siapa?”
“Minggu depan paman mau ke Bandung, katanya mau lihat-lihat asrama Nadya. ‘Kan Si Bungsu mau kuliah di Bandung juga, biar deket sama Nadya nanti ada yang jaga.”
“Iya Mi siap!”
“Ya sudah nanti H min. 1 dihubungi lagi ya sayang.”
“Iya Umiku yang cantik.”
“Umi mau ke mesjid dulu ya, ibu-ibu pengajian udah nunggu jangan lupa dluha sama tahajudnya istiqamah ya sayang.”
“Iya Ibu Kyai”, diiringi tawa kecil.
“Anak Umi ada-ada aja nih. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Klik, telepon  terputus. Aku mengambil binder biru di atas tumpukan Tafsir Ibnu Katsir. Di lembar pertama, ku dapati fhoto Abi. Gagah sekali, berpakaian batik coklat. Sedang berpidato di MA Nurul Hidayah, Subang. Semakin lama ku pandangi sosok pahlawan itu, semakin besar hasrat untuk segera kembali ke rumah. Sayangnya aku tidak membawa fhoto Umi, karena fhoto Umi disimpan di ruang TV. Bola mataku tak bisa diam, melirik ke arah fhoto Abi dan ke arah tumpukanTafsir.
“Tadi yang batuk siapa ya? Jangan-jangan Abi. Jadi...Abi sakit?”, parasku berubah sedih. Namun aku segera menggubris perasaan itu dengan berprasangka baik. “Mungkin Abi sedang makan tapi keselek.”, sangkaku mengusir kekhawatiran. “Aku yakin Allah selalu memberikan kesehatan untuk Abi”.
Lelah rasanya badanku. Aku tak boleh bermanja-manja. Semua yang berhubungan dengan tugas perkuliahan harus segera diselesaikan. Aku tak ingin Umi kecewa mendengar putrinya tak bisa pulang mengobati rindu. “Bismillaahirrahmaanirrahiim”, ku ambil laptop saudaraku di lemari. Tentunya setelah meminta izin terlebih dahulu. Jari-jariku menari di atas keyboard. Supaya tidak jenuh, ku nyalakan winamp yang memuat lagu-lagu pop dan nasyid.
***
Allahu Akbar Allahu Akbar…Allahu Akbar Allahu Akbar…
Terdengar kumandang adzan dari atas menara mesjid Al-Mubarak. Terlebih dahulu aku men-turnoff laptop dan lekas ke hammam[1] mengambil air wudlu. Selepas salam, aku mengambil mushaf kecil berwarna biru yang sudah berusia 9 tahun. Tepatnya ketika aku duduk di bangku sekolah dasar kelas V mushaf itu jatuh ke tanganku.
Tak sabar jari-jari ku untuk kembali menari, laptop langsung ku sambar.  “Bismillaahirrahmaanirrahiim”. Satu per satu tombol keyboard ku sentuh. Hatiku berbisik, “Tugas harus selesai, tugas harus selesai. Umi dan Abi menantimu,”. Ini membuatku lebih bersemangat lagi. Hanya saja, aktivitas ini harus ku hentikan karena aku harus ke masjid Al-Mubarak untuk mengikuti pengajian Qawaidul Lughah Arabiyyah oleh K.H. Tantan Taqiyudin Lc., beliau adalah pimpinan pondok pesantren Al-Ihsan, Cibiruhilir-Bandung. Bersama teman se-kamar dan se-asrama, kami menyusuri jalan menuju majlis ilmu.
Pelajaran ini sangat aku sukai, walaupun tidak begitu bisa. Aku memang menyukai bahasa Arab, ditambah didukung oleh Bapak K.H. Tantan Taqiyudin Lc. yang santai dalam menyampaikannya. Jam menunjukkan pukul 17.00, Bapak Kyai Haji mengakhiri pertemuan dengan ucapan hamdalah dan do’a kifarat masjid.
Para santri keluar dari masjid, ada yang kembali ke asrama, ada yang tergesa-gesa pergi ke warnet, juga yang berkunjung ke warung nasi untuk membeli idam[2]. Aku termasuk golongan yang ke-3, pergi ke warung nasi. Tiba di asrama, ku santap lauk juga sayur dengan lahap. Beginilah kehidupan santri, nasi satu piring saja dimakan 2 sampai 3 orang. Menurut sebagian, ini dilakukan dengan tujuan susah senang bersama malah ada yang bilang lebih romantis jika nasi satu piring tapi yang makannya rombongan. Celingak-celinguk aku mencari hp. Akhirnya dapat. Kulihat ada 3 pesan. Pesan yang pertama dari teman se-kelas ku Abdul Aziz namanya. Kebetulan ia satu kelompok di mata kuliah Tafsir.
Assalamu’alaikum ukhti, bagaimana tugas tafsir? Sudah selesai? Bagaimana kalau besok ngerjainnya bareng di masjid UIN? Notebook-nya ada di ana.
Aku menekan reply untuk membalas.
Wa’alaikumsalam belum beres akhi. Iya Insya Allah.
Pesan berikutnya dari Resita, santri asrama 2.
            Assalamu’alaikum bu ana mau ikut makan di asrama 6.
            Ku rasa pesan dari ibu yang bercita-cita jadi presiden ini tidak perlu dibalas.
            Pesan yang terakhir dari Ustadz Khaerul Umam, M.Pd.I., seorang pengelola pondok pesantren Nurul Hidayah.
            Salam kumaha pun rayi damang?[3]
            Dahiku mengerut, kenapa ustadz ini sms dengan kata “pun rayi”[4]. Mungkin beliau salah kirim. Hatiku bertanya-tanya. Sudahlah, aku tak ingin dipusingkan dengan masalah ini. Aku sangat menghargai beliau, pesan yang singkat ku kirimkan.
            Wa’alaikumsalam Alhamdulillah sae. Kumaha A Umam sakulawargi daramang?[5]
            Beberapa menit kemudian, ada balasan dari beliau.
Alhamdulillah A Umam sakulawargi damang.[6]
            Ku kirimkan balasan yang ke-2
            Nuhun atuh A, upami daramang mah.[7]
            Beliau tidak membalas lagi sms. Rasa penasaranku ternyata masih ada, kenapa beliau panggil “pun rayi”? Tidak ada tanda-tanda beliau salah kirim sms. Buktinya tadi fine-fine aja sms-nya nyambung. Pikiranku melanglang buana. Ada sedikit perasaan bahagia di sudut hati ini. Why not? Beliau adalah orang hebat. Emmm…terus punya adik ikhwan yang bisa dikatakan ganteng. Diam-diam aku menyukainya.
Sebenarnya, perasaan ini telah bersemayam ketika aku masih mengenyam ilmu agama di pondok pesantren Nurul Hidayah. Sebelumnya, aku berkaca siapa aku ini. Aku bukan orang yang patut diistimewakan di depannya yang super istimewa. “Astagfirullah”, aku jadi malu sendiri. Tak sepatutnya rasa ini muncul ke permukaan hati namun tetap saja tidak bisa dibohongi bahwa aku terkena syndrome pink. Biarlah jodoh telah diatur oleh Allah.
***
            Akhirnya waktu yang dinanti pun tiba, yaitu pulang kampung. Senang rasanya, tugas selesai dan kini bisa pulang ke rumah dengan tenang. Hari ini tepatnya adalah hari Kamis. Aku sudah meminta izin kepada pihak pimpinan pesantren untuk pulang ke Subang. Alhamdulillah beliau mengizinkan. Beliau memang sosok pemimpin yang pengertian dan perhatian terhadap santri-santrinya.
            Setelah semua yang dibutuhkan dirapikan ke dalam tas. Aku pamit kepada teman-teman di kamar. Mereka sangat baik dan perhatian, mendo’akan agar aku selamat sampai tujuan. Aku menunggu paman yang janji akan menjemput di depan Gedung Ganesha. Malu rasanya, ternyata paman sudah tiba lebih awal. Aku bersalaman dengan paman.
“Neng makin cantik aja.”
“Ah paman…Si Bungsu juga cantik”, aku tersipu malu.
Tiba-tiba sosok ikhwan keluar dari Honda Jazz Hitam pamanku. Dia tersenyum padaku. Aku hampir tak berkedip, tanpa sadar aku mengucapkan tasbih, “Subhaanallah”. Segera ku tundukkan pandangan setelah sadar bahwa yang ku lakukan adalah tingkah yang bodoh. “Astagfirullaah. Ya Allah aku berlindung dari godaan syetan”. Tak bisa dipungkiri bahwa dialah sosok yang ku kagumi selama ini, adik seorang ustadz yang pernah membimbingku, Khaerul Umam, M.Pd.I., yang bernama Syarif Muttaqin. Mahasiswa Universitas Subang (UNSUB) sekaligus STAI Al-Jawami Bandung. Aku jadi salting.
“Ayo kita langsung berangkat.”
“Iya paman.”
Sosok ikhwan ini duduk di depan samping paman yang santai di balik kendali mobil. Aku tidak mengerti kenapa dia ikut ke Bandung. Apakah ada keperluan atau mau menjemputku. Oops, kenapa jadi GR ya?
“Kata Umi, paman mau lihat asrama Dinda.”
“Lain kali saja, kalau sekarang lagi sibuk.”
Tanda tanya besar hinggap di benakku, “Lantas ke Bandung ada keperluan apa? Apa sengaja ingin menjemputku atau ada keperluan lainnya?” Aku hanya memendam tanda tanya besar itu, mungkin lain kali akan ku tanyakan pada paman. Aku melemparkan pandangan pada sosok yang ada di samping paman. Rasanya dari tadi orang ini diam saja. Aku coba mulai dengan melontarkan pertanyaan basa-basi padanya.
“A Syarif mau ke STAI Al-Jawami?”
“Ah enggak cuma jalan-jalan aja. Bagaimana kuliahnya?”
“Alhamdulillah lancar.”
“Baguslah kalau begitu.”
Akhirnya kami ber-3 larut dalam percakapan yang lumayan seru. Alhamdulillah akhirnya tiba di rumah. Aku mencium tangan Umi dan Abi diikuti A Syarif yang berpamitan pulang ke pondok. Aku mengantarnya sampai pintu. Ia mengendarai Vixion Ungu. Banyak sekali yang ingin aku tanyakan padanya mengapa dia ikut mengapa ini mengapa itu, namun tiba-tiba saja daftar pertanyaan itu buyar ketika Umi memanggilku.
“Nadya…!”, panggil Umi.
“Sebelum kamu istirahat, Umi mau bicara serius.”
“Ada apa Umi?”
“Yuk…ke ruang tamu.”
Abi sedang duduk sambil bertasbih. Aku duduk di sofa abu-abu.
“Umi dan Abi tidak ingin membebanimu”, Umi memulai pembicaraan.
“Perlu Dinda ketahui bahwa perusahaanAbi kini tengah bangkrut.”
“Innalillaah...ini cobaan Umi. Allah Mahakaya. Pasti ada hikmah di balik setiap peristiwa”, aku menenangkan suasana. Sementara Abi masih asyik dengan tasbihnya.
“Umi senang dengan jawabanmu. Kamu sudah dewasa sekarang. Setelah perusahaan bangkrut, otomatis kami tidak punya apa-apa lagi untuk membiayai kuliah Nadya. Maka dari itu, maukah Nadya menerima saran Umi?”
“Apa itu Umi?”, tanyaku penasaran.
“Menikahlah, Nak!”
Gubraaaaakkkkkkkkk. Seperti petir menyambar yang masuk ke dalam telingaku. “Ada seorang ikhwan yang sengaja datang ke rumah beberapa hari yang lalu. Ia datang meminangmu langsung meminta kepada Umi dan Abi.”
“Tapi Umi…”
Umi harap kamu tidak menolak, undangan sudah disebar. Resepsinya akan segera diselenggarakan esok hari.
Bruuukkkkkk. Ku lemparkan badan ke punggung sofa. Ada kehangatan yang mengalir dari sudut mataku. Abi diam saja. Aku tidak mengerti kenapa di zaman sekarang Undang-undang Siti Nurbaya masih berlaku.
“Umi menunggu jawabanmu nanti malam. Sekarang Nadya istirahat saja dulu.”
Aku lari menuju kamar. Sejadi-jadinya ku keluarkan air mata. Terlintas untuk kabur dari rumah tapi tidak mungkin. Kalau aku menolak, maka yang malu adalah orangtuaku. Itu artinya, aku adalah anak yang durhaka. Detik-detik hingga jam ku lewati dengan berfikir tentang keputusan yang harus kuambil.
“Ya Allah apa yang harus aku lakukan?”, curhatku kepada Allah.
Mau tidak mau aku harus taat pada Umi dan Abi. Ya, aku terima tawaran Umi. Namun, siapa yang akan menjadi mempelai pria? Bagaimana dengan perasaanku kepada A Syarif? Apakah dia tau kalau aku kan menikah besok? Apakah dia punya perasaan yang sama denganku?
Esoknya, sesudah shalat subuh aku temui Umi.
“Umi, Nadya mau menikah hari ini.”
Umi langsung memeluk tubuhku. Kami larut dalam tangis antara bahagia dan sedih. “Terima kasih sayang, sekarang Nadya siap-siap ya, nanti ada yang akan mendandani.”
“Iya Umi”, aku paksakan untuk tersenyum di depannya. Aku tak sampai hati jika menolak permintaannya.
Tamu undangan sudah memenuhi ruangan. Aku dituntun Umi keluar kamar karena acara ijab kabul akan segera dimulai. “Lucu banget sich, mau nikah tapi gak tahu calonnya. Semoga A Syarif gak hadir”, batinku kembali konflik. Saat keluar kamar, aku hanya menunduk sampai duduk di samping ikhwan yang akan menikahiku hari ini.
“Bismillaahirrahmaanirrahiim”, perlahan ku tegakkan kepalaku melihat Abi sebagai wali. Penghulu tengah hadir beserta saksi-saksi.
“Nadya”, calon suamiku memanggil.
“Iya”, sedikit ragu ku menoleh ke sebelah kanan. Dag dig dug jantungku tidak karuan. Tangan berkeringat dingin, gemetar.
“Ya Allah”, aku terkejut lalu menundukkan pandangan. Ternyata…dia adalah A Syarif Muttaqin. Tak tergambar bagaimana senangnya hatiku. Ya Rabb, inilah hikmah di balik peristiwa.
Ijab-kabul diselenggarakan dengan khidmat. “Sah…sah”, demikian penuturan pamanku yang menjadi salah satu saksi dan diikuti saksi-saksi lainnya.
Nikah muda sangat indah. Bercinta mesra dengan pujaan hati. Subhaanallaah, ridlai mahligai rumah tangga kami. Semoga sakinah mawaddah warahmah. Aamiin.


[1] Bahasa Arab dari kamar mandi
[2] teman nasi
[3] Salam, gimana adikku sehat?
[4] Adikku
[5] Wa’alaikumsalam Alhamdulillah sehat. Gimana A Umam sekeluarga sehat?
[6] Alhamdulillah A Umam sekeluarga sehat.
[7] Syukur, kalau semuanya sehat.