Antropologi Budaya "Sistem Religi"


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Sistem merupakan kesatuan yang menelurkan berbagai aturan untuk dipatuhi. Seperti yang kita ketahui, mengenai sistem agama atau religi yakni berbicara tentang aturan-aturan sekaligus unsur-unsur yang tercakup di dalam sistem religi tersebut.
Sistem akan selalu ada di dalam kehidupan masyarakat, hal ini dikarenakan masyarakat membutuhkan aturan-aturan sebagai pedoman untuk menjalankan kehidupan di lingkungan masyarakat tertentu. Karena, jika kita telusuri sistem yang tertulis dan bersifat formal di masyarakat tentunya akan berbeda dengan masyarakat yang lainnya, dengan demikian tentu akan berbeda dan salah satu faktor dari perbedaan itu adalah letak geografis wilayah tempat tinggal masyarakat.
Sehingga sistem yang berlaku disesuaikan dengan kondisi masyarakat. Namun beda halnya jika kita berbicara tentang sitem religi, karena di sini ada toleransi namun tidak ada toleransi dalam keyakinan, mengakui pluralitas bukan berarti mengakui pluralisme.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa definisi sistem dan religi?
2.      Bagaimana sistem religi dan sistem ilmu gaib?
3.      Bagaimana perhatian Antropologi terhadap sistem religi?

C.    Tujuan
1.      Mengetahui definisi sistem dan religi
2.      Mengetahui sistem religi dan sistem ilmu gaib
3.      Mengetahui perhatian Antropologi terhadap sistem religi


BAB II
SISTEM RELIGI

A.      Definisi Sistem dan Religi
Sistem
     Sistem adalah perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas, susunan yang teratur dari pandangan, teori, asas, dsb; metode.[1]
Menurut wikipedia berbahasa Indonesia, pengertian sistem dalam pengertian yang paling umum adalah sekumpulan benda yang memiliki hubungan di antara mereka. Kata sistem sendiri berasal dari bahasa Latin (systēma) dan bahasa Yunani (sustēma) adalah suatu kesatuan yang terdiri komponen atau elemen yang dihubungkan bersama untuk memudahkan aliran informasi, materi atau energi.
Sedangkan menurut para ahli, pengertian sistem diartikan sebagai berikut:
Ludwig Von Bartalanfy, sistem merupakan seperangkat unsur yang saling terikat dalam suatu antar relasi diantara unsur-unsur tersebut dengan lingkungan.
Anatol Raporot, sistem adalah suatu kumpulan kesatuan dan perangkat hubungan satu sama lain.
L. Ackof, sistem adalah setiap kesatuan secara konseptual atau fisik yang terdiri dari bagian-bagian dalam keadaan saling tergantung satu sama lainnya.
L. James Havery. Menurutnya sistem adalah prosedur logis dan rasional untuk merancang suatu rangkaian komponen yang berhubungan satu dengan yang lainnya dengan maksud untuk berfungsi sebagai suatu kesatuan dalam usaha mencapai suatu tujuan yang telah ditentukan.
John Mc Manama. Menurutnya sistem adalah sebuah struktur konseptual yang tersusun dari fungsi-fungsi yang saling berhubungan yang bekerja sebagai suatu kesatuan organik untuk mencapai suatu hasil yang diinginkan secara efektif dan efesien.
C.W. Churchman. Menurutnya sistem adalah seperangkat bagian-bagian yang dikoordinasikan untuk melaksanakan seperangkat tujuan.
J.C. Hinggins. Menurutnya sistem adalah seperangkat bagian-bagian yang saling berhubungan.
Edgar F Huse dan James L. Bowdict. Menurutnya sistem adalah suatu seri atau rangkaian bagian-bagian yang saling berhubungan dan bergantung sedemikian rupa sehingga interaksi dan saling pengaruh dari satu bagian akan mempengaruhi keseluruhan.
Mengacu pada beberapa definisi sistem di atas, dapat juga diartikan, sistem adalah sekumpulan unsur / elemen yang saling berkaitan dan saling mempengaruhi dalam melakukan kegiatan bersama untuk mencapai suatu tujuan.[2]
Religi
H. Moenawar Chalil, kata din itu masdar dari kata kerja dana yadinu, yang mempunyai arti, cara atau adat kebiasaan, peraturan, undang-undang, taat atau patuh, menunggalkan ketuhanan, pembalasan, perhitungan hari kiamat, nasihat, agama.
Prof Dr. M. Driyarkara, S.J, bahwa istilah agama kami ganti dengan kata religi, karena kata religi lebih luas, mengenai gejala-gejala dalam lingkungan hidup dan prinsip. Istilah religi menurut kata asalnya berarti ikatan atau pengikatan diri. Oleh sebab itu, religi tidak hanya untuk kini atau nanti melainkan untuk selama hidup. Dalam religi manusia melihat dirinya dalam keadaan yang membutuhkan, membutuhkan keselamatan dan membutuhkan secara menyeluruh.
Pengertian agama menurut Islam jauh berbeda dengan definisi yang diberikan oleh para sarjana Barat seperti tersebut dalam ensiklopedi Prancis yang berkisar pada 2 definisi yang dianggap ilmiah, antara lain sebagai berikut: 1) Agama ialah suatu jalan yang dapat membawa manusia dapat berhubungan dengan kekuatan gaib yang tinggi; 2) Agama ialah sesuatu yang mengandung pengetahuan dan kekuasaan yang tidak pararel dan tidak sejalan dengan ilmu pengetahuan.
“Religious distress is at the same time the expression of real distress and the protest against real distress. Religion is the sigh of the oppressed creature, the heart of a heartless world, just as it is the spirit of a spiritless situation. It is the opium of the people. The abolition of religion as the illusory happiness of the people is required for their real happiness. The demand to give up the illusion about its condition is the demand to give up a condition which needs illusions.” Ini adalah kutipan kata-kata Karl Marx, seorang filsuf, pakar ekonomi politik dan teori kemasyarakatan dari Prusia, dalam Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right (1843).
Jelas bahwa kekuasaan sebuah kritikan tidak bisa ditimpa dengan kritikan sebuah kekuasaan. Kekuatan materiil hanya bisa digulingkan oleh kekuatan materiil pula, tapi teori itu sendiri menjadi sebuah kekuatan materiil ketika telah merampas rakyat jelata. Kritikan yang bersumber dari agama berakhir dengan doktrin bahwa manusia adalah yang tertinggi bagi manusia. Akar dari setiap permasalahan di dunia adalah manusia itu sendiri. Dan alasan yang memungkinkan adalah karena agama.
Bisa jadi pemikirian Karl Marx tidak salah mengingat beragam kejadian yang kerap kali berakar dari perbedaan agama.

B.       Sistem Religi dan Sistem Ilmu Gaib
Pembahasan Antropologi tentang religi, dibagi menjadi 2 yakni sistem religi dan sistem ilmu gaib.
Semua aktivitas manusia yang bersangkutan dengan religi berdasarkan atas suatu getaran jiwa, yang biasanya disebut emosi keagamaan. Emosi keagamaan ini biasanya pernah dialami oleh setiap manusia, walaupun getaran emosi itu mungkin hanya berlangsung untuk beberapa detik saja, untuk kemudian menghilang lagi.
Sistem keyakinan secara khusus mengandung banyak sub-unsur. Mengenai ini para ahli Antropologi biasanya menaruh perhatian terhadap konsepsi tentang dewa-dewa yang baik maupun yang jahat; sifat dan tanda dewa-dewa; konsepsi tentang makhlus-makhluk halus, dan lain-lain.
Adapun sistem kepercayaan dan gagasan, pelajaran aturan agama, biasa dianggap sebagai kesusastraan suci.
Pokok-pokok khusus dalam sistem ilmu gaib pada lahirnya memang sering tampak sama dengan dalam sistem religi. Dalam ilmu gaib sering terdapat juga konsepsi-konsepsi dan ajaran-ajarannya. Ilmu gaib juga memiliki sekelompok manusia yang yakin dan menjalankan ilmu gaib itu untuk mencapai suatu maksud. Selain itu, upacara ilmu gaib juga mempunyai aspek-aspek yang sama artinya, aa pemimpin atau pelakunya, yaitu dukun. Ada saat tertentu untuk mengadakan upacara, biasanya juga pada hari-hari keramat, ada peralatan untuk melakukan upacara dan ada tempat-tempat tertentu untuk pelaksanaan upacara.
Walaupun pada dasarnya religi dan ilmu gaib sering terlihat sama, walaupun sukar dibedakan untuk mennetukan batas dari uapacara yang bersifat religi dan upacara yang bersifat ilmu gaib. Pada dasarnya ada juga suatu perbedaan yang besar sekali antara kedua pokok ini. Adalah dalam menjalankan agama, manusia berserah diri kepada Tuhan.
Sedangkan ilmu gaib adalah memperlakukan kekuatan-kekuatan tinggi dan gaib agar menjalankan kehendak orang tersebut dan berbuat apa yang diingin dicapainya.

C.      Perhatian Antropologi terhadap Sistem Religi
Sejak lama, ketika Antropologi belum ada dan hanya merupakan suatu himpunan tulisan mengenai adat-istiadat yang aneh-aneh dari suku-suku bangsa di luar Eropa, religi telah menjadi suatu pokok penting dalam buku-buku para pengarang tulisan-tulisan etnografi mengenai suku-suku bangsa itu. Kemudian, waktu bahan etnografi tersebut digunakan secara luas oleh dunia ilmiah, perhatian terhadap bahan mengenai upacara keagamaan itu sangat besar. Sebenarnya ada dua hal yang menyebabkan perhatian yang besar itu, yaitu: 1) Upacara keagamaan dalam kebudayaan suatu suku bangsa biasanya merupakan unsur kebudayaan yang tampak paling lahir. 2) Bahan etnografi mengenai upacara keagamaan diperlukan untuk menyusun teori-teori tentang asal-mula religi.
Para pengarang etnografi yang datang dalam masyarakat suatu suku bangsa tertentu, akan segera tertarik akan upacara-upacara keagamaan suku bangsa itu, karena upacara-uapacara itu pada lahirnya tampak berbeda sekali dengan upacara keagamaan dalam agama bangsa-bangsa Eropa itu sendiri, yakni agama Nashrani. Hal-hal yang berbeda itu dahulu dianggap aneh, dan justru karena keanehanya itu menarik perhatian.
Masalah asal-mula dari suatu unsur universal seperti religi, artinya masalah mengapa manusia percaya kepada adanya suatu kekuatan gaib yang dianggapnya lebih tinggi daripadanya, dan mengapa manusia itu melakukan berbagai hal dengan cara-cara yang beraneka warna, unutk berkomunikasi dan mencari hubungan dengan kekuatan-kekuatan tadi, telah lama menjadi pusat perhatian banyak orang di Eropa, dan juga dari dunia ilmiah pada umumnya. Dalam usaha untuk memecahkan masalah asal-mula religi, para ahli biasanya menganggap religi suku-suku bangsa di luar Eropa sebagai sisa-sisa dari bentuk-bentuk religi yang kuno, yang dianut seluruh umat manusia dalam zaman dahulu, juga oleh orang Eropa ketika kebudayaan mereka masih berada pada tingkat yang primitif.
Dalam memecahkan soal asal-mula dari suatu gejala, sudah jelas orang akan melihat kepada apa yang dianggapnya sisa-sisa dari bentuk-bentuk tua dari gejala itu. Dengan demikian bahan etnorgafi mengenai upacara keagamaan dari berbagai suku bangsa di dunia sangat banyak diperhatikan dalam usaha penyusun teori-teori tentang asal-mula agama.


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Sistem agama yakni tidak terlepas dari Tuhan, sebagai Dzat yang disembah. Di dalam sistem religi pun terdapat ritual-ritual seperti do’a, shalat, puasa, dan haji. Ritual-ritual ini dijalankan dengan penuh khusyu dan berserah diri sepenuhnya kepada Tuhan.
Di sini beda halnya dengan sistem ilmu gaib yang masih tercakup ke dalam sistem religi yakni hanya mengandalkan kekuatan-kekuatan tinggi dan gaib agar menjalankan kehendak orang tersebut dan berbuat apa yang ingin dicapai olehnya.
Selanjutnya, Antropologi menaruh perhatian kepada sistem religi ini. Sebenarnya ada dua hal yang menyebabkan perhatian yang besar itu, yaitu: 1) Upacara keagamaan dalam kebudayaan suatu suku bangsa biasanya merupakan unsur kebudayaan yang tampak paling lahir. 2) Bahan etnografi mengenai upacara keagamaan diperlukan untuk menyusun teori-teori tentang asal-mula religi.


 
DAFTAR PUSTAKA

Ø  Kamus Lengkap Bahasa Indonesia
Ø  Prof. Dr. Keontjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Ø  Samsul Munir Amin. 2009. Percik Pemikiran Para Kyai. Yogyakarta: Pustaka Pesantren.
Ø  http://www.idafazz.com/pengertian-sistem.php
Ø  Wikipedia & febriani.staff.gunadarma.ac.id


[1] Kamus Lengkap Bahasa Indonesia
[2] Wikipedia & febriani.staff.gunadarma.ac.id

DA’I SELEBRITAS DAN MAD’U FORMALITAS
MAKALAH
Tugas Individu
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah Sosiologi Dakwah


Oleh:
Ipah Nurholipah
1210404021


 
JURUSAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2011 M./1433 H.



KATA PENGANTAR

            Segala puji dan syukur penulis panjatkan bagi Allah SWT yang telah memberikan hidayah serta taufik-Nya. Shalawat serta salam semoga tercurahlimpahkan kepada insan tersempurna, suri tauladan bagi seluruh umat, yakni baginda besar Rasulullah saw., kepada keluarganya yang mulia, para sahabatnya yang terpilih, dan sampai kepada umatnya yang setia, sehingga penulisan makalah mengenai “Da’i Selebritas Dan Mad’u Formalitas” dapat selesai tanpa ada hambatan yang berarti.
            Makalah ini ditulis dalam rangka menyelesaikan tugas mata kuliah Sosiologi Dakwah. Penulis menyadari, bahwa dengan kemampuan yang penulis miliki, makalah ini mempunyai banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun untuk penyempurnaan makalah ini. Makalah ini dibuat dengan harapan supaya para pembaca semakin mengenal dan memahami “Da’i Selebritas Dan Mad’u Formalitas”.
Akhirnya, hanya Allah SWT jua-lah yang dapat memberikan balasan yang setimpal terhadap amal baik kita. Semoga amal ibadah dan kerja keras kita, senantiasa mendapatkan ridla dan ampunan dari-Nya.Amin.

Bandung,  Muharram 1433 H.
     Desember 2011 M.

       Penulis


 
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Berdasarkan pada prinsip dan tanggung jawab, setiap muslim di mana pun dan apa pun profesinya dan keahliannya, mempunyai kewajiban untuk berdakwah. Perhatikan hadits riwayat Imam Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudri, Rasulullah saw. bersabda, yang artinya: “Barangsiapa yang mengajak kepada kebaikan, maka baginya pahala (sebagaimana) orang-orang yang mengerjakan kebaikan itu.” Di dalam proses dakwah ada beberapa komponen, di antaranya: Da’i, Mad’u, Maudu’, Wasilah, Uslub, dan Tujuan.
Berdasarkan penuturan Al-Mursyid, dakwah adalah sistem dalam menegakkan penjelasan kebenaran, kebaikan, petunjuk ajaran, memerintahkan perbuatan ma’ruf, mengungkapkan media-media kebatilan dan metode-metodenya dengan macam-macam pendekatan, metode, dan media dakwah.[1]
Dalam dakwah, ada sebuah media yang menjadi komponennya sekaligus sebagai alat untuk lebih mempermudah proses dakwah tersebut. Dewasa kini, kemajuan teknologi dan elektronik terlihat berkembang pesat sehingga seorang da’i dapat memanfaatkan media-media yang dianggap sebagai pendukung proses penyampaian materi dakwah.
Seperti yang sering kita lihat, bahwa penyampaian pesan dakwah dengan melihat figur da’i namun tidak secara langsung, yakni salah satunya dengan perantara media televisi. Hampir di setiap channel, acara dakwah khitabah tergalakan, dan proses dakwah yang kita dapati tidak statis melainkan dinamis. Hal ini dikarenakan adanya interaksi antara da’i dan mad’u pada sesi tanya jawab.
Namun, kemunculan figur-figur da’i di televisi mengundang persepsi bahwa dakwah yang dilakukan hanyalah untuk mem-booming-kan nama mereka saja di media. Kemudian kehadiran mad’u pun dirasakan sebagai formalitas belaka sebagai pendukung booming-nya figur-figur da’i tersebut. Sedangkan pada realitanya, esensi materi dakwah tidak tehujam ke dalam hati mad’u.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana teori citra da’i?
2.      Bagaimana figur da’i formalitas?
3.      Bagaimana mad’u formalitas?

C.    Tujuan
1.      Mengetahui teori citra da’i
2.      Mengetahui figur da’i formalitas
3.      Mengetahui mad’u formalitas



BAB II
DA’I SELEBRITAS DAN MAD’U FORMALITAS

A.      Teori Citra Da’i
Kesuksesan kegiatan dakwah sangat ditentukan oleh kualitas dan kepribadian seorang da’i. Dengan kualitas yang dimiliki seorang da’i, maka ia akan mendapatkan kepercayaan (kredibilitas) serta citra yang positif di mata mad’u baik individu atau masyarakat.
Citra dalam pemahaman sehari-hari biasa diartikan kesan, berkenaan dengan penilaian terhadap seseorang, instansi, lembaga, dan lain-lain. Citra yang berhubungan dengan seorang da’i dalam perspektif komunikasi erat kaitannya dengan kredibilitas yang dimilikinya. Kredibilitas akan sangat menentukan citra seseorang. Teori citra da’i menjelaskan penilaian mad’u terhadap kredibilitas da’i, apakah da’i mendapatkan penilaian positif atau negatif di mata mad’unya. Persepsi mad’u, baik positif maupun negatif, terhadap diri seorang da’i sangat berpengaruh dalam menentukan apakah mereka akan menerima informasi, pesan tersebut atau tidak. Semakin tinggi kredibilitas seorang da’i, maka semakin mudah mad’u menerima pesan-pesan yang disampaikannya, begitu juga sebaliknya.
Kredibilitas seseorang tidak tumbuh dengan sendirinya, tidak gratis (it be erned), ia harus dicapai melalui usaha yang terus-menerus, harus dibina dan dipupuk, serta konsisten sepanjang hidup. Kredibilitas dalam konteks dakwah perspektif komunikasi sama dengan persepsi mad’u (khalayak) tentang da’i. Dakwah dalam salah satu bentuknya yakni melalui lisan, maka ada empat cara seorang da’i dinilai oleh mad’unya:
1.    Da’i dinilai dari reputasi yang mendahuluinya. Apa yang sudah seorang da’i lakukan dan berikan –karya-karya, kontribusi, jasa dan sikap- akan memperindah atau menghancurkan reputasi seorang da’i.
2.    Perkenalan tentang seorang da’i. Mad’u dapat menilai seorang da’i dari informasi yang diterimanya. Di hadapan mad’u yang tidak mengetahui da’i, orang yang memperkenalkan da’i dan bagaimana ia memperkenalkannya sangat menentukan kredibilitas seorang da’i.
3.    Dari apa yang diucapkannya. Ali bin Abi Tahlib mengatakan: “Al-lisan mizan al-insan” (lisan adalah kriteria manusia). Lebih jauh “bahasa menunjukkan bangsa”. Jika seseorang mengungkapkan hal-hal yang kotor, tidak berarti atau rendah, maka seperti itu pula kualifikasi seseorang.
Kredibilitas juga erat kaitannya dengan kharisma, walau demikian kredibilitas dapat ditingkatkan sampai batas optimal. Seorang da’i yang berkredibilitas tinggi adalah seorang yang mempunyai kompetensi di bidangnya, integritas kepribadian, ketulusan jiwa, serta mempunyai status yang cukup walau tidak harus tinggi. Ketika kredibilitas ini dimiliki oleh seorang da’i, maka da’i tersebut akan memiliki citra (penilaian) positif di hadapan mad’unya.

B.       Figur Da’i Selebritas
Realitanya, banyak sekali da’i selebritas bermunculan di media televisi. Dikatakan selebritas, yakni karena da’i ini memposisikan dakwah sebagai profesi, juga lebih terfokuskan untuk mempopulerkan namanya. Berawal dari hal demikian –niat yang tidak karena Allah SWT- sehingga respon mad’u pun tidak diniatkan karena Allah SWT melainkan hanya mengikuti proses dakwah secara ceremonial dan hanya untuk menampilkan keseragaman berbusana namun tidak untuk keseragaman mengaplikasikan esensi dakwah.
Di tengah-tengah perkembangan dan pembangunan sektor komunikasi yang menggembirakan sekarang ini, ajakan atau pemikiran untuk mengembangkan dakwah dengan mengerling ke pers atau media tentu saja merupakan langkah yang tepat dan bijak. Terlebih-lebih bila dikaitkan dengan peranan, fungsi dan kerja pers sebagai agen pembaharuan dalam membangun masyarakat Indonesia seutuhnya.
Yang dimaksud da’i di sini bukanlah sekadar seorang khatib yang berbicara dan mempengaruhi manusia dengan nasihat-nasihatnya, suaranya, serta kisah-kisah yang diucapkannya. Bukan itu saja, walaupun hal ini merupakan bagian darinya. Da’i harus mengetahui apa yang sedang berkembang dalam kehidupan sekitarnya serta semua problema yang ada.
Indikator sukses atau tidak proses dakwah ditentukan oleh da’i. Seorang da’i semestinya mencurahkan rasa percaya dan kasih sayang kepada mad’u, sampai ia merasa mendapatkan perhatian yang tinggi dari da’i. Da’i muslim/muslimah yang sukses, semakin besar pengaruh dan popularitasnya dalam bidang dakwah, akan semakin banyak temannya di jalan Allah dan akan semakin banyak pula orang yang iri kepadanya sehingga akan semakin banyak isu-isu tentang dirinya. Hal ini sudah merupakan sunnatullah bagi para juru dakwah. Hal ini sebagaimana fimran Allah SWT.
Artinya: “Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, Yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, Maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (Q.S. Al-An’am: 112).
Figur da’i yang memperjuangkan Islam akan selalu menjadi perbincangan di lisan mad’u yang telah tertutup hatinya, padahal itu hanya tipuan syaitan.
            Da’i-da’i yang bermunculan di media televisi, mereka melakukan dakwah profesional. Apakah dakwahnya yang profesional? Atau justru dakwah tersebut dijadikan sebagai profesi? Ukuran profesional sebenarnya tidak semata-mata pada uang, sebab uang hanyalah merupakan akibat saja dari sebuah kerja profesional. Namun, secara populernya kata profesional dimaknai dengan ahli dan gaji. Suatu pekerjaan bila dilakukan secara profesional, maka pekerjaan itu terlaksana dengan optimal dan maksimal dan dibayar dengan layak.  
Seorang da’i harus ikhlas, menjadikan dakwahnya semata-mata ditujukan kepada Allah SWT, tak ada maksud riya, atau mencari popularitas (sum’ah), kedudukan atau jabatan dan tidak pula karena rakus mencari kepuasan duniawi. Jika salah satu unsur di atas tadi masuk ke dalam jiwa seorang da’i, maka dakwahnya menjadi tidak lagi karena Allah, akan tetapi dakwah tersebut lebih ditujukan untuk keinginan dan kepuasan diri. Allah telah memberitakan tentang motivasi nabi-nabi-Nya dalam berdakwah. Mereka berkata kepada kaumnya:

Artinya: “Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan seruan-Ku.” (Q.S. Al-An’am: 90).
            Figur da’i di media mengambil upah yang ditentukan olehnya. Dengan media, mereka menjadi terkenal sebagai sosok da’i sekaligus menjadikan dakwah sebagai profesi.    

C.      Mad’u Formalitas
Para peneliti menyadari efek minimal media masa kepada orang, karena itu peneliti sekarang lebih memperhatikan apa yang dilakukan orang terhadap media masa. Khalayak dianggap aktif menggunakan media untuk memenuhi kebutuhannya. Pendekatan ini kemudian dikenal dengan sebutan uses and gratifications/penggunaan dan pemuasan. Karena penggunaan media adalah salah satu cara untuk memperoleh pemenuhan kebutuhan, maka efek media sekarang didefinisikan sebagai situasi ketika pemuasan kebutuhan tercapai.
Berbagai penggunaan dan pemuasan terhadap media ini dapat dikelompokkan ke dalam empat tujuan, yaitu pengetahuan, hiburan, kepentingan sosial, dan pelarian.
1.      Pengetahuan. Seseorang menggunakan media massa untuk mengetahui sesuatu atau memperoleh informasi tentang sesuatu. Hasil survey menunjukkan alasan orang menggunakan media antara lain: saya ingin mengetahui apa yang terjadi di dunia. Pun demikian dengan proses dakwah, mereka mendatangi berbagai kegiatan dakwah di media dengan tujuan untuk menuntut ilmu dan menambah wawasan, namun mereka sering dilupakan pada tataran pengamalan, karena pesan yang disampaikan da’i tidak menghujam ke dalam hati.
2.      Hiburan. Hiburan dapat diperoleh melalui beberapa bentuk, yaitu: 1) Stimulasi atau pencarian untuk mengurangi rasa bosan atau melepasakan diri dari kegiatan rutin, 2) Relaksasi atau santai yang merupakan bentuk pelarian dari tekanan dan masalah, 3) Pelepasan emosi dari perasaan dan energi terpendam. Melihat fenomena dakwah di media, terkadang ada sesion tanya jawab antara da’i dengan mad’u via telepon atau langsung pada saat bertatap muka. Mad’u yang hadir di lokasi, mereka terlihat seragam dari segi pakaiannya, make-up dan style yang ingin terlihat modis pada saat diekspos kamera. Mereka sangat senang ketika diekspos, ini dijadikan sebagai ajang hiburan saja, sedangkan materi dakwahnya hanya pada saat itu saja masuk telinga, namun ketika acara selesai, materi tersebut keluar lagi.
3.      Kepentingan sosial. Kebutuhan ini diperoleh melalui pembicaraan atau diskusi tentang sebuah program televisi, film terbaru, atau program radio siaran terbaru. Isi media menjadi bahan perbincangan yang hangat. Media memberikan kesamaan landasan untuk membicarakan masalah sosial. Dengan demikian media juga berfungsi untuk memperkuat hubungan dengan keluarga, teman dan yang lainnya dalam masyarakat. Di sini, mad’u menganggap bahwa program dakwah yang disiarkan di media adalah suatu kepentingan sosial dan dijadikan sebagai konsep perbaikan diri atau muhasabah.
4.      Pelarian. Orang menggunakan media tidak hanya untuk tujuan santai tetapi juga sebagai bentuk pelarian. Orang menggunakan media massa untuk mengatasi rintangan antara mereka dengan orang lain, atau untuk menghindari aktivitas lain. Mad’u memposisikan proses dakwah tersebut yakni sebagai pelarian dari masalah karena membutuhkan hiburan atas kepenatan yang sedang dialaminya.
Adapun logika yang mendasari penelitian mengenai uses and gratifications (Katz, 1974) adalah adanya kondisi sosial psikologi seseorang yang menyebabkan adanya kebutuhan yang menciptakan harapan-harapan terhadap media massa atau sumber-sumber lain. Yang membawa kepada perbedaan pola penggunaan media yang akhirnya akan meghasilkan pemenuhan kebutuhan dan konsekuensi lainnya, termasuk yang tidak diharapkan sebelumnya.
Menurut Clancy, dan Shulman, ada kriteria yang harus dipenuhi pengelola media penyiaran untuk mendapatkan audience sasaran yang optimal. Audience sasaran adalah orang-orang yang menginginkan diri mereka terekspos oleh informasi atau hiburan yang ditawarkan media penyiaran dan bahkan juga produsen/pemasang iklan kepada mereka. Dalam hal ini perlu diketahui bahwa audience melakukan suatu proses yang disebut dengan selective exposure, artinya audience secara aktif memilih mau atau tidak mengekspos dirinya terhadap informasi.
Kriteria-kriteria yang harus dipenuhi, di antaranya adalah sebagai berikut.
1.      Responsif. Audience sasaran harus responsif terhadap program yang ditayangkan. Para da’i seakan tidak peduli bagaimana respon mad’unya ketika ia menyampaikan materi dakwah. Di sini, dia hanya sebagai fasilitator. Respon positif atau negatif yang diekspresikan mad’u dikembalikan kepada individu masing-masing, karena yang terpenting bagi da’i adalah telah menyampaikan materi dan dengan begitu lepaslah tanggung jawabnya sebagai orang yang telah menyerukan yang ma’ruf dan mencegah yang munkar.
2.      Potensi penjualan. Setiap program yang akan disiarkan harus memiliki potensi penjualan yang cukup luas. Program dakwah memiliki potensi penjualan yang tinggi. Terlebih lagi, jika da’i yang mengisi acara tersebut adalah da’i kelas atas. Sehingga semakin kreatif da’i tersebut, maka semakin banyak pula mad’u yang berkenan hadir. Namun, justru kehadiran mad’u ini sebagai formalitas saja. Misalnya hanya untuk melihat sosok da’i secara langsung, tak lupa ia pun berpenampilan modis dalam menghadiri acara.
3.      Pertumbuhan memadai. Audience tidak dapat dengan segera bereaksi. Audience bertambah perlahan-lahan sampai akhirnya meningkat dengan pesat. Sebagaimana point yang di atas, bahwa jumlah audience atau mad’u yang berkenan hadir ditentukan oleh citra da’i. Da‘i yang tidak profesional dan kreatif, akan mendapatkan jumlah mad’u yang sedikit. Masyarakat lain kurang berminat dengan dakwah yang tidak kreatif dan tidak disisipi oleh humor. Namun, indikator suksesnya dakwah tidak dapat ditentukan oleh humornya da’i. Dengan humor, mad’u memang lebih respon kepada mad’u tapi hal ini malah membuat mereka melupakan materi dakwah.



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
            Proses dakwah di era globalisasi mulai berkembang dari sisi metodenya. Melihat pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga proses dakwah ini banyak bermunculan di media.
            Bermunculan da’i di televisi, terkadang disalahgunakan. Misalnya, da’i memanfaatkan media sebagai alat untuk berdakwah, tapi tujuannya untuk popularitas dan profesionalitas.
            Demikian dengan mad’u, berbondong-bondong menghadiri acara tersebut dengan pakaian muslim yang seragam menampilkan style yang bagus dan membandingkan style yang mereka gunakan dengan style jama’ah lain. Dari fenomena tersebut, lahirlah istilah da’i selebritas dan mad’u formalitas.


DAFTAR PUSTAKA

Drs. Enjang AS, M.Ag., M.Si., dan Aliyudin, S.Ag., M.Ag. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Dakwah. Bandung: Widya Padjadjaran.
Drs. Enjang AS, M.Ag., M.Si., dan Hajir Tajiri, M.Ag. 2009. Etika Dakwah. Bandung: Widya Padjadjaran.
Dr. K. H. Didin Hafidhuddin, M.Sc. 2003. Islam Aplikatif. Jakarta: Gema Insani Press.
Dr. M. Abdul Qadir Abu Faris. TAHUN. Menyucikan Jiwa. Jakarta: Gema Insani Press.Bottom of Form
Dr. Rabi’ Bin Hadi Al-Madkhali. 1995. Minhajul Anbiyaa’ Fid Dakwah Ilallaah Fiihil Hikmah Wal ‘Agl “Manhaj Dakwah Para Nabi Dengan Landasan Hikmah Dan Rasio”, diterjemahkan oleh Abu Fahmi. Jakarta: Gema Insani Press.
Drs. Wahidin Saputra, M.A. 2011. Pengantar Ilmu Dakwah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Morissan, M.A. 2009. Manajemen Media Penyiaran: Strategi Mengelola Radio Dan Televisi. Jakarta: Kencana.
M. Munir. S.Ag., M.A., dan Wahyu Ilaihi, S.Ag., M.A. 2009. Manajemen Dakwah. Jakarta: Kencana.
Syekh Ahmad Al-Qaththan.  2001. Ad-Daa’iyatu An-Naajihah “Da’i Muslimah Yang Sukses”, diterjemahkan oleh Chairul Halim. Jakarta: Gema Insani Press.
Sutirman Eka Ardhana. 1995. Jurnalistik Dakwah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.




[1] Drs. Enjang AS, M. Ag., M. Si. dan Aliyudin, S. Ag., M. Ag., Dasar-Dasar Ilmu Dakwah, (Bandung, Widya Padjadjaran, 2009), hlm. 9.